
Musim Hujan & Cuaca Dingin: Awas, Ular Mengintai

Jakarta,CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap bahwa musim kemarau tahun ini mengalami kemunduran dan berpotensi berlangsung lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Menurut data BMKG, hingga awal Juni 2025, baru 19% zona musim (ZOM) di Indonesia yang masuk kemarau. Sementara mayoritas wilayah masih diguyur hujan.
Guyuran hujan juga masih terjadi di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
Selain diguyur hujan, akhir-akhir ini suhu di Jakarta, Depok dan Bekasi terasa dingin pada pagi dan malam hari. Anehnya hal ini terjadi justru ketika memasuki musim kemarau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa fenomena udara dingin yang akhir-akhir ini terasa, terjadi karena beberapa faktor.
Salah satu penyebab fenomena suhu dingin menjelang puncak musim kemarau ini adalah Angin Monsun Australia yang bertiup menuju Asia dan melewati wilayah Indonesia serta Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif lebih rendah (dingin).
Angin Monsun Australia ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air, apalagi pada malam hari di saat suhu mencapai titik minimumnya.
Selanjutnya mengakibatkan suhu udara di beberapa wilayah di Indonesia terutama wilayah Selatan khatulistiwa, seperti pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, terasa lebih dingin. Orang Jawa biasa menyebutnya Mbedhidhing.
Wilayah di pulau Jawa yg terasa lebih dingin adalah Pegunungan Bromo, Pegunungan Sindoro-Sumbing dan Wilayah Lembang Bandung. Bahkan pada 7 Juli 2024 suhu minimum terjadi di dataran tinggi Dieng mencapai 1 derajat Celcius pada jam 2 dini hari.
Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada ladang pertanian, naiknya permukaan air laut, atau musim yang makin sulit ditebak. Di balik dampak-dampak besar itu, ada gerak sunyi yang jarang diperhatikan pergeseran perilaku ular.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perubahan iklim berkaitan erat dengan meningkatnya potensi konflik antara manusia dan ular, terutama karena reptil ini mulai mengubah sebaran geografisnya akibat suhu yang terus naik dan semakin seringnya kejadian ekstrem seperti banjir atau gelombang panas.
Ular sebagai hewan berdarah dingin sangat bergantung pada suhu lingkungan untuk mengatur metabolisme tubuhnya. Ketika suhu tanah di habitatnya melampaui ambang toleransi, ia akan keluar, berpindah, mencari tempat yang lebih teduh atau lebih kering. Pada saat yang sama, manusia juga mengubah cara hidupnya: pola tanam bergeser, hutan dibuka, lahan basah dikeringkan, dan pemukiman meluas ke arah habitat liar.
Dua jalur yang tak sengaja bertemu dan memicu interaksi yang kian sering. Dalam situasi seperti ini, ular sanca adalah salah satu jenis yang kerap muncul di wilayah permukiman.
Meski tidak berbisa, ular ini dikenal sebagai pembunuh yang mematikan melalui kemampuan konstriksi melilit mangsa dengan tekanan kuat hingga sistem pernapasan dan peredaran darahnya terhenti.
Jenis-jenis sanca besar seperti Python bivittatus (sanca bodo), Malayopython reticulatus (sanca kembang), Python molurus (sanca batu India), Simalia amethistina (sanca patola), hingga Apodora papuana (sanca Papua), memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, dan sebagian di antaranya dapat tumbuh hingga 10 meter lebih. Mereka biasa memangsa burung, kadal, monyet, bahkan mamalia besar, dan dalam kondisi ekstrem-termasuk ketika terusik manusia-ular ini bisa menjadi sangat agresif.
Di musim hujan, ketika tanah becek dan sarang mereka tergenang, ular-ular ini lebih sering keluar, bahkan masuk rumah warga, bukan karena mereka memangsa manusia, melainkan karena mereka terusir.
Di sisi lain, meskipun tampak menakutkan, ular-ular ini sejatinya terancam. Habitat mereka menyusut, perubahan iklim memperpendek musim berburu, dan perburuan liar menekan populasinya.
Ironisnya, spesies-spesies besar dari Asia Tenggara justru sering dikapalkan secara ilegal ke berbagai negara untuk diperdagangkan sebagai peliharaan eksotis.
Bahkan di habitat aslinya, seperti di Papua atau Kalimantan, populasi beberapa jenis sanca mulai menyusut. Ketika suhu terus meningkat dan ruang alami menyempit, manusia dan ular akan semakin sering bertemu di ruang-ruang yang tak seharusnya mereka bagi. Dan jika krisis iklim terus dibiarkan, bukan tak mungkin suatu hari nanti, predator sunyi ini tak lagi menjadi ancaman, tetapi menjadi korban dari dunia yang semakin panas dan tak ramah
Jenis-Jenis Ular Sanca Terbesar di Dunia
-
Sanca Bodo (Python bivittatus)
Ular sanca terbesar di Asia yang dapat tumbuh hingga 7 meter dan berat 182 kg, meski rata-ratanya 3-5 meter. Tubuhnya gemuk dan kuat untuk melilit mangsa. Ular ini tersebar luas di Asia Tenggara dan menjadi spesies invasif di Florida, AS. -
Sanca Kembang (Malayopython reticulatus)
Ular terpanjang di dunia, bisa melebihi 10 meter. Tubuhnya ramping, lincah memanjat, dan punya sensor panas untuk mendeteksi mangsa. Selain burung dan mamalia kecil, dalam kasus ekstrem, ular ini mampu memangsa manusia. -
Sanca Batu India (Python molurus)
Kerabat dekat sanca bodo dengan ukuran lebih kecil (4-6 meter). Warnanya mirip namun berpola lebih acak. Ular ini menghuni padang rumput, savana, dan bebatuan di wilayah India, Pakistan, hingga Sri Lanka. -
Sanca Patola (Simalia amethistina)
Ditemukan di Papua dan Australia, ular ini tumbuh hingga 4 meter. Tubuhnya ramping dan kuat, sering ditemukan di atas pohon. Sisiknya berkilau seperti pelangi, menjadikannya populer sebagai hewan peliharaan, meski kini terancam karena perburuan. -
Sanca Papua (Apodora papuana)
Berukuran hingga 4,3 meter, ular ini hidup di hutan dan savana Papua. Warna tubuhnya membantu kamuflase, dan perilakunya sebagai predator penyergap membuatnya efektif dalam memburu mamalia kecil secara diam-diam.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)