
Permintaan Aset Safe Haven Melemah: Emas, Dolar AS Sampai Yen Merana

Jakarta, CNBC Indonesia - Membaiknya sentimen global membuat investor mulai meninggalkan aset aman (safe haven) dan kembali memburu aset berisiko. Aset-aset safe haven seperti emas, dolar Amerika Serikat (AS), dan yen Jepang mulai ditinggalkan. Sedangkan aset berisiko seperti saham, komoditas, dan kripto mulai diburu kembali.
Emas, yang menjadi aset haven paling klasik karena sudah dari dahulu menjadi aset paling aman, kini sedang ditinggalkan oleh investor. Harganya pun terus mengalami penurunan.
Merujuk Refinitiv, harga emas di perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (27/6/2025) ditutup di posisi US$ 3.272,99 per troy ons. Harganya ambruk 1,65%. Pelemahan kemarin memperpanjang derita emas yang diketahui sudah membentuk tren penurunan sejak 13 Juni lalu.
Bahkan, dalam sepekan terakhir saja, harga emas dunia juga ambruk 2,82%. Semenjak perdagangan 13 Juni lalu, emas terus mencetak penurunan dan hanya beberapa kali berhasil menguat, itupun hanya tipis-tipis saja.
Selain emas, ada dolar AS, di mana mata uang Negeri Paman Sam bisa dijadikan safe haven karena kuatnya mata uang ini dan juga banyak sekali negara yang menggunakan mata uang ini. Sayangnya, dolar AS saat ini juga tengah merana.
Melansir dari Refinitiv, indeks DXY, yang mengukur kekuatan dolar AS erhadap mata uang utama dunia lainnya seperti euro, yen Jepang, maupun poundsterling Inggris pada perdagangan Jumat (27/6/2025) memang menguat yakni naik 0,11% ke 97,25.
Namun jika dilihat dari perdagangan 13 Juni lalu, DXY cenderung masih membentuk tren penurunan. Sejak perdagangan 13 Juni lalu hingga kemarin, DXY sudah ambles 11,55%.
Namun, nasib berbeda dialami oleh mata uang Negeri Sakura yakni yen. Pada perdagangan Jumat kemarin, berdasarkan data dari Refinitiv, yen memang terlihat melemah 0,19% dihadapan dolar AS. Tetapi jika dilihat dari perdagangan 23 Juni lalu, sejatinya yen menguat, menandakan bahwa pada pekan ini yen cukup perkasa.
Dalam sepekan terakhir, yen mampu menguat 0,97%.
Beberapa aset safe haven mulai ditinggalkan seiring dengan membaiknya sentimen global. Untuk dolar AS, Sejumlah faktor memengaruhi nilainya, di antaranya permintaannya dari bank sentral dan lembaga keuangan lainnya. Situasi fiskal negara yang lebih luas, termasuk tingkat inflasi, hubungan perdagangan, utang, dan defisit perdagangan, juga berperan.
Karena para ekonom telah memperingatkan tentang potensi resesi atau perlambatan ekonomi AS, para investor telah menarik kembali investasi mereka di AS.
"Kualitas kelembagaan yang dimiliki AS dalam hal menjadi tempat berlindung yang aman telah benar-benar rusak," kata Bilge Erten, seorang profesor ekonomi di Universitas Northeastern, dikutip dari Time.
"Mengapa Anda berinvestasi dalam aset AS ketika Anda tahu bahwa dolar AS kemungkinan akan terus kehilangan nilainya?" tambahnya.
Trump dan kebijakannya telah berkontribusi pada banyaknya kekhawatiran yang muncul tentang ekonomi dalam beberapa bulan terakhir. Namun, beberapa pakar mengatakan bahwa meskipun faktor politik turut membentuk kekuatan dolar AS, devaluasinya diproyeksikan akan terjadi terlepas dari pemenang pemilihan presiden 2024.
"Apa pun yang terjadi, ada kemungkinan besar dolar akan jatuh, dan saya pikir akan jatuh lebih jauh lagi," kata Kenneth Rogoff, seorang profesor Harvard, dilansir dari Time.
Sedangkan untuk emas, sentimen pemberatnya yakni gencatan senjata antara Israel dengan Iran, sedikit meredanya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, dan meredanya inflasi di AS.
Investor saat ini masih memantau situasi di Timur Tengah seiring meredanya ketegangan geopolitik. Perjanjian gencatan senjata antara Iran dan Israel terus berlaku setelah beberapa pertempuran kecil di awal.
Sementara itu, kesepakatan perdagangan antara AS dan China tentang cara mempercepat pengiriman logam tanah jarang ke AS dipandang oleh pasar sebagai tanda positif, membuat emas semakin merana.
Kesepakatan ini dicapai jauh sebelum tenggat 9 Juli, yang menandai akhir dari masa penangguhan 90 hari terhadap tarif "resiprokal" yang diterapkan Presiden Donald Trump.
Selain itu, Menteri Keuangan AS (menurut laporan News Story) menyatakan bahwa kesepakatan dagang dengan 18 mitra dagang utama AS bisa selesai sebelum libur Hari Buruh pada 1 September.
Namun yang ditunggu-tunggu oleh investor yakni inflasi konsumsi personal (Personal Consumption Expenditure/PCE), di mana laporandari Departemen Perdagangan AS menunjukkan bahwa pendapatan dan belanja konsumen secara tak terduga mengalami kontraksi sebesar 0,1% (month-to-month/mtm)pada Mei.
Meski tarif belum berdampak pada pertumbuhan harga, inflasi PCEtetap berada di atas target tahunan 2% milik The Fed. Inflasi PCE(year-on-year/yoy) mencapai 2,3% sementara PCEinti di ,7% (yoy) pada Mei 2025.
Laporan terpisah dari University of Michigan mengonfirmasi bahwa sentimen konsumen mengalami perbaikan pada Juni yakni menjadi 60,7 dari 52,2 pada Mei meskipun masih jauh di bawah lonjakan yang terjadi pasca pemilu pada Desember.
Pasar keuangan kini memperkirakan peluang sebesar 76% bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan memangkas suku bunga untuk pertama kalinya tahun ini pada September.
Sementara itu, proyeksiFedWatch dari CMEmenunjukkan kemungkinan pemangkasan suku bunga terjadi secepatnya pada Juli hanya sebesar 19%.
Kondisi geopolitik dan ekonomi yang stabil mengurangi daya tarik emas sebagai tempat berlindung yang aman sehingga mendorong investor beralih ke aset yang lebih berisiko, sementara suku bunga yang tinggi membuat emas kurang disukai karena sifatnya yang tidak memberikan imbal hasil.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)