
Data Terbaru, Kondisi Sejumlah Industri di RI Sedang Lesu

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri pengolahan yang menjadi penopang Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal I-2025 melandai. Hal ini juga terlihat pada beberapa subsektor yang cenderung mengalami perlambatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (5/5/2025),merilis data pertumbuhan ekonomi RI kuartal I-2025 yang terpantau mengalami pelandaian yakni hanya tumbuh 4,87% year on year/yoy.
Menurut lapangan usahanya, industri pengolahan yang memiliki distribusi paling besar terhadap PDB yakni sejumlah 19,25%, tercatat hanya tumbuh 4,55% yoy, menurun dibandingkan kuartal IV-2024 yang mencatat 4,89%. Namun demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2024 yang sebesar 4,13%. Perlambatan ini terjadi meskipun momentum Ramadan dan Idul Fitri jatuh pada kuartal I-2025.
Sebagai informasi, industri pengolahan merupakan sektor ekonomi yang berperan dalam mengubah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau barang jadi melalui berbagai proses manufaktur. Di Indonesia, industri ini memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, terutama industri pengolahan nonmigas yang terus menunjukkan pertumbuhan.
Apabila dilihat lebih rinci, beberapa subsektor dari industri pengolahan mengalami kenaikan tiap kuartalnya secara tahunan, namun tidak sedikit juga yang cenderung melandai tiap kuartalnya.
Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia Research dalam rentang kuartal I-2024 hingga kuartal I-2025, Industri Batubara dan Pengilangan Migas; Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik; serta Industri Pengolahan Lainnya; Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan menjadi industri yang secara tren terus mengalami kenaikan.
Industri Batubara dan Pengilangan Migas cenderung terus bertumbuh karena berbagai faktor yang mendukung pertumbuhannya. Salah satu alasan utama adalah tingginya kebutuhan energi di dalam negeri, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun sektor industri.
Batubara tetap menjadi sumber utama bagi pembangkit listrik, sementara produk hasil pengilangan migas seperti bensin dan solar masih menjadi kebutuhan pokok bagi transportasi dan aktivitas ekonomi.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang mendorong investasi di sektor energi, termasuk peningkatan kapasitas pengilangan domestik, berperan besar dalam menjaga pertumbuhan industri ini.
Cadangan batubara yang melimpah serta potensi eksplorasi migas yang masih belum sepenuhnya dimanfaatkan menjadi faktor lain yang mendukung ekspansi industri ini. Indonesia memiliki banyak cekungan migas yang belum dieksplorasi, memberikan peluang besar bagi pengembangan lebih lanjut. Di sisi lain, permintaan global terhadap batubara, terutama dari negara seperti China dan India, membantu mempertahankan tingkat produksi dan ekspor Indonesia.
Industri Padat Karya Makin Meringis
Beberapa industri padat karya seperti Industri Pengolahan Tembakau; Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya; Industri Kertas dan Barang dari Kertas; Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman; dan Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional terpantau terus mengalami perlambatan kuartal demi kuartalnya.
Industri padat karya di Indonesia terus mengalami perlambatan karena berbagai faktor ekonomi dan kebijakan yang memengaruhi daya saing serta keberlanjutan sektor ini. Salah satu penyebab utama adalah melemahnya daya beli masyarakat, yang berdampak pada permintaan produk dari industri padat karya.
Banyak pelaku industri harus menghadapi dilema antara mempertahankan tenaga kerja atau melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah pekerja, yang sering kali berujung pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Meskipun pemerintah telah berupaya mengatasi perlambatan ini melalui berbagai kebijakan, termasuk insentif fiskal dan dorongan investasi, tantangan seperti tarif perdagangan serta kondisi geopolitik global tetap menjadi hambatan bagi pemulihan industri padat karya.
Menperin Buka Suara
Di tengah data terkini yang dilaporkan, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita justru menepis kabar buruk yang menimpa industri manufaktur di Tanah Air.
Hal itu dikatakannya mengacu pada sejumlah lembaga, baik dalam maupun luar negeri, yang menyebut industri manufaktur masih jadi prime mover atau penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia pun mengutip data World Bank dan United Nations Statistics, nilai Manufacturing Value Added (MVA) Indonesia pada tahun 2023 menembus angka US$255,96 miliar. Capaian itu disebut sebagai yang tertinggi pernah diraih Indonesia.
Lebih lanjut, sektor industri pengolahan nonmigas mengalami peningkatan dalam kontribusinya terhadap perekonomian nasional, yang tercermin dari catatan pada triwulan I tahun 2025 sebesar 17,50%.
Kata Agus, capaian ini naik dibanding periode sama tahun 2024 sebesar 17,47% dan lebih tinggi dari sumbangsih sepanjang tahun 2024 yang berada di angka 17,16 persen. Begitu juga dengan dibandingkan dengan triwulan II-2022 pasca-Covid 19 melanda Indonesia, kontribusi ekonomi industri pengolahan nonmigas memiliki tren meningkat sampai dengan triwulan I-2025 ini.
Dengan begitu, ucapnya, sejumlah indikator atau data kinerja positif industri manufaktur saat ini berkebalikan dengan yang disampaikan ekonom dan pengamat selama ini. Bahwa ada tren penurunan share PDB manufaktur yang menjadi dasar pernyataan mereka terkait deindustrialisasi yang melanda industri manufaktur Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)