Bukan Trump, Dolar AS Paling Perkasa di Rezim Presiden Ini

Revo M, CNBC Indonesia
12 February 2025 16:25
U.S. President Donald Trump, first lady Melania Trump, former President Barack Obama, former first lady Michelle Obama, former President Bill Clinton, former Secretary of State Hillary Clinton, former President Jimmy Carter and former first lady Rosalynn Carter participate in the State Funeral for former President George H.W. Bush, at the National Cathedral, Wednesday, Dec. 5, 2018 in Washington.  Alex Brandon/Pool via REUTERS
Foto: Presiden AS Donald Trump, wanita pertama Melania Trump, mantan Presiden Barack Obama, mantan ibu negara Michelle Obama, mantan Presiden Bill Clinton, mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, mantan Presiden Jimmy Carter dan mantan wanita pertama Rosalynn Carter berpartisipasi dalam Pemakaman Negara untuk mantan Presiden George HW Bush, di National Cathedral, Rabu, 5 Desember 2018 di Washington. Alex Brandon / Pool melalui REUTERS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di era Presiden Donald Trump diiperkirakan dapat cenderung menguat.

Dilansir dari Refinitiv, indeks dolar AS (DXY) cenderung mengalami kenaikan tahun demi tahun khususnya sejak 2008.

Secara tahunan DXY sempat naik empat tahun beruntun yakni pada 2013 hingga 2016 dengan apresiasi yang signifikan pada 2014, 2015, dan 2016 masing-masing sebesar 12,79%, 9,26%, dan 3,63%.

Apabila dilihat lebih dalam, ketika partai Republik memimpin, maka DXY cenderung mengalami depresiasi. Hal ini terlihat di saat Donald Trump pertama kali memimpin AS, DXY terkoreksi sekitar 10%.

Begitu pula dengan George W. Bush dan George H. W. Bush ketika memimpin AS, DXY masing-masing terdepresiasi sebesar 24,9% dan 4,9%.

Indeks dolar AS (DXY) saat ini dihitung dengan memperhitungkan nilai tukar enam mata uang asing, yaitu euro (EUR), yen Jepang (JPY), dolar Kanada (CAD), pound Inggris (GBP), krona Swedia (SEK), dan franc Swiss (CHF).

Dolar vs Rupiah Era Trump

Sejak pelantikan Donald Trump, dolar AS menjadi sangat sensitif terhadap pengumuman tarif mengingat perannya dalam perdagangan global dan kepercayaan ekonomi.

Dolar menguat setelah adanya ancaman tarif terhadap China, Meksiko, dan Kanada, namun kemudian melemah setelah tarif tersebut ditangguhkan pada bulan Januari.

Kendati kebijakan perdagangan masih penuh ketidakpastian, beberapa pihak memprediksi bahwa dolar akan menguat dalam beberapa tahun ke depan, namun kemudian akan melemah seiring dengan meningkatnya utang AS yang dipercepat oleh pemotongan pajak Trump.

Lebih lanjut, Trump memiliki posisi yang kontradiktif dengan dolar yakni ia ingin dolar cukup lemah agar ekspor AS dapat lebih kompetitif di pasar global.

Apabila hal ini benar-benar terjadi, maka tidak menutup kemungkinan untuk rupiah terjadi penguatan.

Sebagai catatan, ketika DXY melemah, maka modal asing berpotensi masuk ke Tanah Air (investor tertarik masuk ke pasar negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi, termasuk Indonesia).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation