
Ini Bukti Baru Warga RI Makin Malas Beli Baju, Industri Tekstil Jeblok

Jakarta, CNBC Indonesia- Ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,03% pada 2024. Namun, pertumbuhan konsumsi untuk pakaian dan alas kaki melambat.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh 4,94% sepanjang tahun. Tetapi menariknya, sektor sandang justru tertinggal.
Pengeluaran masyarakat untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya hanya tumbuh 2,55% sepanjang tahun, lebih rendah dibandingkan sektor transportasi dan komunikasi yang melesat 6,56% atau restoran dan hotel di 6,53%.
Artinya, masyarakat lebih memilih mengalokasikan pengeluarannya ke mobilitas dan pengalaman, sementara belanja sandang tak menjadi prioritas utama. Bahkan, hingga pertengahan tahun, pertumbuhan belanja pakaian masih stagnan di kisaran 1,7% sebelum akhirnya naik ke 2,55% di kuartal IV-2024.
Dalam empat tahun terakhir, rata-rata konsumsi pakaian,alas kaki, dan jasa perawatannya hanya tumbuh 2,74%.
Adanya pergeseran atau shifting konsumsi dari kebutuhan membeli sepatu dan fashion menjadi salah satu penyebab turunnya konsumsi fashion, termasuk sepatu.
Melandainya konsumsi pakaian dan alas kaki berimbas pada industri tekstil. Rata-rata industri tekstil hanya mencapai 2,75% dalam lima tahun terakhir. Sepanjang 2024, industri tekstil hanya tumbuh 4,26%. Pertumbuhan tersebut jauh di bawah periode 2011-2014 yang mencapai 6,14%
Data BPS juga menunjukkan ekspor tekstil RI dengan kode HS 5911 mengalami penurunan menjadi US$11,258.90 pada 2024 dari US$13,330.74.
Melemahnya konsumsi fashion, ambruknya industri tekstil dan turunnya ekspor menjadi sejumlah faktor yang mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri tekstil.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) mencatat, total ada 60 pabrik yang telah melakukan efisiensi dengan pengurangan produksi maupun pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, bahkan berhenti total. Setidaknya, dari angka itu, ada lebih 30 pabrik yang dikonfirmasi telah tutup atau berhenti produksi secara total.
Industri tekstil tidak bisa hanya bergantung pada konsumsi domestik semata. Dengan masyarakat yang semakin selektif dalam belanja pakaian, pemain industri harus berinovasi, baik dalam desain, bahan, maupun strategi pemasaran.
Selain itu, ekspansi ke pasar ekspor serta penguatan industri berbasis keberlanjutan bisa menjadi kunci untuk mempertahankan momentum pertumbuhan.
Ke depan, pertanyaan besarnya adalah apakah industri tekstil mampu terus bertahan di tengah perubahan pola konsumsi masyarakat yang semakin mengutamakan pengalaman dibandingkan barang?
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)