
IHSG Lebih Suram di Periode Kedua Trump Jadi Presiden, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia beda nasib saat dua minggu pertama Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat. Pada periode kedua Trump memimpin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbang, dibandingkan periode pertama yang menguat.
Donald Trump dilantik pada 20 Januari 2017 periode pertama. Sejak dilantik IHSG tercatat menguat 2,03% hingga 3 Februari 2017, dari 5.254,31 ke 5.360,77.
Sementara pada dua pekan awal pemerintahan Trump saat ini, IHSG anjlok 2,57% bahkan berada di level 6.000-an.
Perbedaan signifikan performa IHSG adalah kebijakan awal Trump di periode kedua yang lebih galak soal tarif impor.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerapkan penambahan tarif impor sebesar 25% bagi Kanada dan Meksiko serta tambahan 10% untuk impor dari China. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi boomerang bagi ekonomi Paman Sam.
Untuk diketahui, tarif adalah bea yang dikenakan pada barang asing yang dibayar oleh importir AS. Para ekonom secara umum menentang kebijakan tarif ini, dengan alasan bahwa tarif mengakibatkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen dalam negeri.
Akibat kenaikan itu, indeks dolar AS (DXY) yang menguat lagi ke atas level 109, membuat pasar keuangan terguncang, termasuk IHSG dan Rupiah.
CNBC memantau pada hari ini pukul 14.30 WIB, IHSG ambruk 2,01% ke posisi 6,963,59. Begitu juga untuk rupiah, pada waktu yang sama terpantau keok di hadapan dolar AS dengan pelemahan 0,83% ke posisi Rp16.430/US$. Pelemahan rupiah ini mendekati level paling parah pada 2020 di mana rupiah sempat menyentuh di atas level Rp16.500/US$.
Selain gara-gara Trump, kondisi ekonomi Indonesia saat ini belum bisa dikatakan baik-baik saja karena daya beli masyarakat yang lesu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi pada periode Januari 2025. BPS mencatat, indeks harga konsumen (IHK) mencatatkan deflasi sebesar 0,76% month to month (MtM) pada Januari 2025. Artinya, terjadi penurunan IHK dari 106,90 pada Desember 2024, menjadi 105,99 pada Januari 2025.
Deflasi ini menjadi tanda daya beli masyarakat yang lemah. Jika ini berlanjut, tentu akan berdampak pada roda ekonomi Tanah Air, di mana permintaan yang turun, dunia usaha jadi tertekan, investasi akan melemah, dan akhirnya ekonomi bisa melambat.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(ras/ras)