Laris Manis! Ular RI Melata Sampai China, Tahun 2024 Laku US$2,7 Juta

Emanuella B, CNBC Indonesia
29 January 2025 15:00
Ilustrasi ular piton. (Freepik)
Foto: Ilustrasi ular piton. (Freepik)

Jakarta,CNBC Indonesia- Bagi sebagian orang, ular mungkin tampak mengerikan. Namun, di China, hewan melata ini justru menjadi komoditas bernilai tinggi. Dari kepercayaan kuno hingga penelitian modern, konsumsi ular terus berkembang, mendorong permintaan yang signifikan. Di balik tingginya ekspor ular Indonesia ke China, terdapat faktor budaya, kesehatan, hingga keberlanjutan.

Sejak berabad-abad lalu, masyarakat China percaya bahwa kantung empedu ular memiliki nilai obat yang luar biasa. Dalam pengobatan tradisional, cairan ini diyakini mampu mengatasi sengatan panas, batuk, hingga keracunan makanan. Tidak hanya itu, anggur ular, yang dibuat dengan merendam ular berbisa dalam alkohol, diyakini dapat meningkatkan fungsi ginjal, meredakan nyeri, hingga menyembuhkan sakit kepala.

Namun, bukan hanya kepercayaan yang mendorong konsumsi ular. Penelitian dari Macquarie University, Australia, menunjukkan bahwa daging ular bisa menjadi pilihan pangan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan daging ayam atau sapi. Ular lebih mudah dibudidayakan, membutuhkan lebih sedikit sumber daya, dan memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil. Selain itu, dagingnya kaya protein serta rendah lemak jenuh, menjadikannya pilihan yang lebih sehat.

Di berbagai negara Asia Tenggara dan China, konsumsi ular sudah menjadi bagian dari kuliner lokal. Ular piton, misalnya, dibudidayakan secara besar-besaran, sementara spesies seperti Chinese cobra, banded krait, Indo Chinese rat snake, tri rope beauty snake, dan hundred-pace viper sering digunakan dalam sup ular yang populer di China.

Dengan permintaan yang terus meningkat, Indonesia menjadi salah satu eksportir utama ular ke China.

Pada tahun 2024, BPS mencatatkan ekspor ular Indonesia ke China tercatat mencapai US$2.784.929,11, menjadikannya pasar utama bagi ekspor reptil ini. Sementara itu, Hong Kong menyerap US$69.913,50, menunjukkan bahwa wilayah tersebut masih menjadi pasar sekunder.

Meskipun ekspor sempat melonjak pada 2022, dalam dua tahun terakhir terjadi tren penurunan. Beberapa faktor bisa menjadi penyebab. Mulai dari regulasi perdagangan, perubahan pola konsumsi, hingga kekhawatiran terhadap keberlanjutan penangkapan liar.

Di tengah ketidakpastian tersebut, satu hal tetap jelas hewan melata ini memang eksotis, tetapi juga merupakan komoditas bernilai tinggi yang terus dicari, terutama di China. Dengan permintaan yang masih kuat, prospek ekspor ular Indonesia ke depan bergantung pada keseimbangan antara konservasi, regulasi, dan inovasi dalam budidaya.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation