Israel "Dihukum" Lembaga AS Karena Habiskan Rp 1000 T Buat Perang

Revo M, CNBC Indonesia
09 October 2024 05:45
FILE - In this May 30, 2021, file photo, Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu speaks to the Israeli Parliament in Jerusalem. If all goes according to plan, Israel will swear in a new government on Sunday, June 13, putting an end to Prime Minister Benjamin Netanyahu’s record 12-year rule and a political crisis that led to four elections in less than two years. (Yonatan Sindel/Pool via AP, File)
Foto: Benjamin Netanyahu (Yonatan Sindel/Pool via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Israel tampak semakin terpuruk setelah satu tahun perang di Timur Tengah terjadi. Perang bahkan membuat peringkat utang Israel  terancam diturunkan karena kekuatan ekonomi yang berkurang.

Eskalasi di Timur Tengah terus-menerus memanas. Kekacauan di Timur Tengah ini bahkan telah meluas ke negara di sekitar dan melibatkan banyak negara dalam konflik ini. Hal ini dipicu setelah perang antara Israel dan milisi Gaza Palestina Hamas pecah pada persis setahun yang lalu, 7 Oktober 2023, hingga saat ini.

Perang tersebut memicu beberapa milisi, seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman, terlibat langsung untuk memberikan bantuan kepada Hamas. Hal ini pun membuat Israel untuk ikut menyerang kedua kelompok itu.

Selama setahun terakhir di Gaza, lebih dari 40.000 orang, termasuk lebih dari 10.000 anak-anak, telah terbunuh oleh pasukan Israel.

Terbaru, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS), Pentagon, mengancam Iran. Hal ini semakin memperkeruh situasi di middle east.

Hal ini terlihat dari pernyataan publik Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, dalam sebuah kegiatan yang menandai satu tahun serangan Hamas ke Israel, 7 Oktober. Pentagon, tegasnya, tak akan gentar untuk mencegah Iran dan proksi-proksinya jika mereka menyerang Israel dan berkomitmen membela Negeri Zionis itu.

Beban Perang dan Turunnya Rating Israel 

Keterlibatan perang yang terus menerus tentu menggerus kemampuan ekonomi Israel. Kementerian Keuangan Israel menyebut biaya langsung untuk membiayai perang di Gaza hingga Agustus diperkirakan mencapai 100 miliar shekel ($26,3 miliar). Nilai tersebut setara dengan Rp 411,3 triliun (US$1= Rp 15.640).

Angka ini diperkirakan bakal terus melonjak.. Bank sentral Israel memperkirakan totalnya bisa naik menjadi 250 miliar shekel pada akhir 2025 dengan belum menghitung biaya invasi ke Lebanon. Artinya, beban perang bisa melebih 250 milair shekel atau Rp 1.042 triliun. Biaya perang sangat mahal karena sistem pertahanan udara Iron Dome, mobilisasi pasukan secara besar-besaran, dan pengeboman tiada henti.

Tumpukan beban membuat rasio utang terhadap default melesat mendekati level tertinggi dalam 12 tahun sementara defisit anggaran terus membengkak.

"Selama perang terus berlanjut, utang negara akan terus memburuk," kata Sergey Dergachev, manajer portofolio di Union Investment, dikutip dari Reuters.

Rasio utang Israel terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kini berada di angka 62%. Angka tersebut naik pesat dibandingkan 2018 yang hanya 58,8%. Tahun ini, rasio utang terhadap PDB diperkirakan akan mencapai 67%. Defisit anggaran pemerintah diperkirakan menyentuh 8,3% dari PDB, jauh di atas 6,6% yang sebelumnya diperkirakan.

"Meskipun Israel memiliki landasan ekonomi yang bagus. Ini (kenaikan utang) tetap membebani fiskal. Seiring waktu, itu akan memberikan tekanan pada peringkat." Ujar Dergachev.

Kementerian Keuangan Israel optimis ekonomi mereka akan kembali kuat dan peringkat utang bisa pulih setelah perang berakhir

Selama ini, pembeli obligasi Israel terbesar adalah dana pensiun atau manajer aset besar yang tertarik dengan peringkat utang negara yang relatif tinggi. Sebagian investor ini sudah menyampaikan minat untuk melepas obligasi Israel. Sebagian dari investor tidak berminat membelinya karena kekhawatiran mengenai implikasi ESG (environment, social, dan good governance) terkait cara perang dijalankan.

Bank sentral Norwegia, Norges Bank, telahh menjual sebagian kecil kepemilikan obligasi pemerintah Israel pada 2023 karena meningkatnya ketidakpastian di pasar.

"Nilai valuasi (obligasi Israel) mencerminkan apa yang kini menjadi kekhawatiran investor," kata Trang Nguyen, Kepala Strategi Kredit Pasar Berkembang Global di BNP Paribas, kepada Reuters.

Pemerintah Israel menegaskan obligasi pemerintah masih banyak peminat, terutama dalam negeri sehingga aman. Data menunjukkan pasar obligasi dalam negeri Israel memang cukup dalam tetapi asing mulai kabur.

Data dari bank sentral menunjukkan bahwa porsi obligasi yang dimiliki investor asing kini berada di 8,4%, atau 55,5 miliar shekel, pada Juli 2024.

Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dari 14,4%, atau hampir 80 miliar shekel pada September 2023 atau sebelum perang melawan Hamas meletus.

"Institusi Israel membeli lebih banyak dalam beberapa bulan terakhir sementara investor global menjual obligasi karena geopolitik dan ketidakpastian," kata seorang pejabat kementerian keuangan yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, kepada Reuters.

Kepemilikan saham Israel oleh dana global kini berada di level terendah dalam satu dekade. Tak hanya obligasi, investasi asing juga merosot. Investasi langsung asing ke Israel turun 29% secara tahunan pada 2023, terendah sejak 2016.

Agen pemeringkat Amerika Serikat (AS) Moody's menurunkan peringkat kredit Israel untuk kedua kalinya tahun ini pada 27 September 2024. Pemangkasan bahkan langsung dua notch, dengan alasan meningkatnya intensitas pertempuran dengan kelompok teroris Hezbollah di Lebanon dan kurangnya "strategi keluar" dari Israel.

Agen pemeringkat kredit terkemuka tersebut menurunkan skor Israel dari A2 menjadi Baa1. Sebelumnya, Moody's sudah memangkas rating kredit Israel pada Februari 2024.

Penurunan peringkat kredit Israel oleh Moody's sebanyak dua tingkat mungkin bukan yang terakhir, menurut para analis, karena perang di dua front tersebut memacu pengeluaran negara dan menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi mungkin tidak pulih secepat seperti pada konflik-konflik sebelumnya.

Dilansir dari Reuters, langkah mengejutkan yang diambil Moody's pada hari Jumat (27/9/2024), untuk menurunkan peringkat kredit Israel menjadi "Baa1" dari "A2" dikritik oleh pejabat pemerintah tetapi mencerminkan ketidakpastian atas prospek ekonomi Israel saat konflik berkecamuk.

Sebagai informasi, Baa (long term) adalah rating yang diberikan kepada suatu negara dengan risiko kredit yang moderat dan Moody's mempertimbangkan medium grade serta memiliki karakteristik spekulatif.

Sementara Baa (short term atau P-2) menunjukkan bahwa penerbit atau institusi pendukung cenderung memiliki kekuatan yang baik dalam membayar utang jangka pendek.

Penurunan ini menjaga peringkat Israel tetap tiga tingkat di atas peringkat investasi, turun dari enam tingkat sebelumnya tahun ini.

"Ini jelas merupakan indikasi yang cukup kuat bahwa mereka percaya risiko semakin meningkat lebih dari yang mereka duga sebelumnya, dan deteriorasinya cepat," kata Karnit Flug, mantan kepala bank sentral yang kini berada di Israel Democracy Institute.

MoodysFoto: Moodys' Rating
Sumber: Moody's

Moody's juga mempertahankan prospek negatif terhadap Israel di tengah eskalasi konflik di kawasan tersebut dengan kelompok bersenjata Lebanon, Hezbollah.

Selanjutnya, Moody's juga mengingatkan bahwa rating berpotensi diturunkan lebih lanjut jika ketegangan yang meningkat saat ini dengan Hezbollah berubah menjadi konflik berskala penuh.

Umumnya, kehilangan peringkat investasi berarti lonjakan biaya untuk melayani utang, dan hal ini dapat memaksa beberapa investor untuk menjual kepemilikan mereka yang semakin menekan harga pasar obligasi Israel.

Agensi pemeringkat Fitch menurunkan peringkat kredit Israel menjadi "A" dari "A-plus" bulan lalu, dan mempertahankan prospek peringkat negatif.

Penurunan Peringkat Deposit

Dilansir dari laman resmi Moody's, penurunan peringkat simpanan jangka panjang bank menjadi Baa1 dipicu oleh penurunan peringkat kredit Israel menjadi Baa1, yang mengakibatkan penurunan dukungan pemerintah untuk simpanan.

Moody's terus mengasumsikan probabilitas yang sangat tinggi untuk dukungan pemerintah bagi lima kelompok perbankan besar Israel karena pentingnya sistemik mereka dan sejarah pemerintah Israel dalam mendukung bank-bank yang penting secara sistemik, jika diperlukan.

Prospek negatif pada peringkat simpanan jangka panjang juga mencerminkan prospek negatif pada peringkat pemerintah Israel dan oleh karena itu, potensi pelemahan lebih lanjut dari kapasitas souverain untuk memberikan dukungan.

Ini juga mencakup risiko bahwa fundamental mungkin terpengaruh lebih parah dan secara berkelanjutan akibat pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dan iklim investasi yang tidak menguntungkan, serta dampak yang lebih merugikan dari konflik pada sektor-sektor kunci yang dihadapi bank dan peminjam individu.

Untuk mencerminkan lingkungan operasional yang lebih lemah bagi bank, Moody's menurunkan Profil Makro untuk Sistem Perbankan Israel menjadi "Moderate+" dari "Strong-". Ini mencakup kombinasi dari pelemahan ekonomi yang lebih tahan lama akibat konflik dan risiko geopolitik yang jauh lebih tinggi serta risiko politik domestik yang meningkat, yang semuanya menunjukkan kualitas lembaga dan tata kelola Israel yang menurun.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation