
Ramai-Ramai Asing Kabur ke China, Dana Rp 10 T Kabur dari RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Arus dana asing terpantau keluar dari pasar keuangan domestik. Outflow dipicu stimulus dari China yang akan diberikan dan memberikan optimisme bagi pasar keuangan di sana.
Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 23 - 26 September 2024, investor asing tercatat jual neto sebesar Rp9,73 triliun atau hampir Rp 10 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp2,88 triliun di pasar saham, Rp1,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp5,55 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Kaburnya investor asing pekan lalu ini berbanding terbalik dengan aliran inflow sebesar Rp 25 triliun pada pekan sebelumnya.
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 26 September 2024, investor asing tercatat beli neto sebesar Rp57,13 triliun di pasar saham, Rp31,07 triliun di pasar SBN dan Rp193,60 triliun di SRBI.
Aksi keluarnya dana asing ini terjadi setelah muncul rencana stimulus yang mengagetkan dunia yakni dari Pemerintah China melalui bank sentral (PBoC) stimulus moneter dan dukungan bagi pasar properti secara besar-besaran. Ini langkah baru pemerintah China untuk menghidupkan kembali ekonomi yang masih tertekan deflasi.
Dikutip dariĀ Reuters, paket dukungan untuk pasar properti yang diumumkan Selasa pekan lalu (25/9/2024) mencakup pengurangan suku bunga rata-rata sebesar 50 basis poin (bps) untuk hipotek yang ada, menurunkan biaya pinjaman pada hipotek hingga US$5,3 triliun, serta pemotongan persyaratan uang muka minimum menjadi 15% (sebelumnya 25%) untuk semua jenis rumah.
PBoC juga memperkenalkan dua alat baru untuk mendukung pasar modal. Yang pertama adalah program swap senilai awal CNY 500 miliar, yang memungkinkan dana, perusahaan asuransi, dan broker mengakses pendanaan dengan lebih mudah untuk membeli saham.
Kedua menyediakan hingga CNY 300 miliar dalam pinjaman murah dari PBoC kepada bank-bank komersial untuk membantu mereka mendanai pembelian saham dan pembelian kembali oleh entitas lain.
Lebih lanjut, PBoC juga akan memangkas rasio cadangan wajib (RRR) bank sebesar 50 bps dalam waktu dekat, yang akan mengalirkan sekitar CNY 1 triliun yuan (US$142,21 miliar atau sekitar Rp2.158 triliun) untuk pinjaman baru.
Bergantung pada situasi likuiditas pasar di akhir tahun ini, RRR mungkin akan diturunkan lebih lanjut sebesar 0,25-0,5 poin persentase, ujar Pan.
Suku bunga reverse repo tujuh hari juga akan dipangkas sebesar 0,2 poin persentase menjadi 1,5%.
Pan memperkirakan bahwa langkah ini akan mendorong suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF) turun sekitar 0,3 poin persentase, serta suku bunga pinjaman utama (LPR) dan suku bunga deposito turun sebesar 0,2-0,25 poin persentase. Pan tidak merinci kapan langkah-langkah ini akan mulai berlaku. Ia juga memperkirakan bahwa dampak pemotongan suku bunga terhadap margin bank akan bersifat netral.
Hal ini memberikan angin segar bagi China, sementara bagi negara lainnya seperti Indonesia justru hal ini secara jangka pendek tampak kurang baik khususnya dalam hal aliran dana asing yang tampak terjadi outflow.
Hal ini semakin deras terjadi setelah seorang investor miliarder terkemuka, yakni David Tepper yang juga merupakan pendiri Appaloosa Management pada 1993, membeli lebih banyak "segala sesuatu" yang berhubungan dengan China setelah langkah-langkah stimulus melampaui ekspektasi.
Ia yang merupakan pendiri Appaloosa, kantor keluarga yang mengelola aset senilai US$13 miliar dan mencapai CAGR 25% dari tahun 1993 hingga 2019, dibandingkan dengan CAGR +11% S&P 500 sangat dihargai khususnya pernyataan-pernyataan yang sangat bold.
Tepper semakin meyakinkan berbagai pihak setelah pernyataannya yang sangat optimis terhadap China dan Asia, menunjukkan keyakinan yang kuat terhadap prospek fiskal dan moneter di kawasan tersebut.
Bahkan Tepper juga menyampaikan untuk tidak melakukan short di seluruh pasar di Asia. Lebih lanjut, ia juga membeli apa pun di China. Hal ini yang membuat pasar China dalam jangka pendek menjadi perhatian dan menarik bagi seluruh pihak.
Kendati pasar China saat ini menjadi sorotan seluruh pihak, namun Ekonom dari Commerzbank, Tommy Wu menyampaikan kepada CNBC Indonesia bahwa pada akhirnya pemerintah pusat perlu mengambil tindakan untuk menangani situasi properti dengan lebih baik daripada hanya bergantung pada pemerintah daerah karena masalah nomor satu adalah properti.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)