Beda Ramalan Rupiah BI & Pemerintah Dalam 5 Tahun, Siapa Paling Jitu?

Revo M, CNBC Indonesia
28 August 2024 14:35
(kiri-kanan) Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR RI. (Tangkapan Layar Youtube TVR Parlemen)
Foto: (kiri-kanan) Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR RI. (Tangkapan Layar Youtube TVR Parlemen)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selalu menjadi topik panas karena berdampak signifikan terhadap banyak hal. Pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan realisasi dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) terpantau selalu menunjukkan hal yang berbeda setidaknya dalam lima tahun terakhir.

Pada 2019, proyeksi rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat di angka Rp15.000/US$, sementara proyeksi BI yang disampaikan Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam dalam pembahasan Rancangan APBN (RAPBN) bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR cenderung memproyeksikan rupiah dapat bergerak jauh lebih kuat yakni dalam rentang Rp13.800-14.100/US$. Sedangkan realisasi berdasarkan LKPP tercatat di angka Rp14.146/US$.

Optimisme BI tak lepas dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada saat itu diekspektasikan pada level 5,2-5,6% untuk 2019.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 akan cenderung lebih tinggi dibandingkan 2018.

Begitu pula pada 2020 dan 2021, proyeksi BI cenderung lebih kuat dibandingkan pemerintah dalam APBN.

Sementara pada 2022 dan 2023, proyeksi pemerintah dengan BI cenderung sama, namun realisasi LKPP berada di atas dari proyeksi.

Tekanan terhadap rupiah terjadi sejak awal 2022 didorong oleh suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang menaikkan suku bunganya secara agresif dari 0,25% hingga menyentuh level 5,5% pada pertengahan 2023 dan berlanjut hingga saat ini.

Melesatnya suku bunga The Fed ini membuat indeks dolar AS (DXY) semakin perkasa dan investor berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan di AS. Hal ini berujung pada melemahnya nilai tukar rupiah.

Ditambah lagi pada saat itu, BI khususnya melihat bahwa ketidakpastian global ditandai dengan perekonomian yang lebih rendah dari perkiraan, risiko stagflasi hingga gejolak di pasar keuangan masih menjadi tantangan tersendiri. Apalagi pemicunya, yaitu perang Rusia dan Ukraina juga belum ada tanda-tanda berakhir.

Alhasil, realisasi berdasarkan LKPP untuk rupiah pada 2022 tercatat sebesar Rp14.871/US$ dan pada 2023 sebesar Rp15.255/US$.

Namun yang menjadi perhatian kali ini yakni pada proyeksi pemerintah dan BI untuk 2025 yang terlihat cukup jauh berbeda.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap pada pendiriannya untuk memasang asumsi kurs rupiah dalam RAPBN 2025 sebesar Rp16.100/US$. Padahal, BI memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun depan akan ada di kisaran Rp15.300-15.700/US$.

Sri Mulyani beranggapan bahwa asumsi Rp16.100/US$ tersebut dilakukan demi menjaga kehati-hatian pemerintah dalam merancang asumsi makro dan postur APBN tahun depan, mulai dari sisi penerimaan negara, belanja negara, hingga pembiayaan anggaran.

Aksi kehati-hatian pemerintah memang cukup tercermin setidaknya sejak 2019 yang seringkali menargetkan rupiah berada di level yang lebih lemah dibandingkan BI. Hal ini relatif wajar mengingat pemerintah perlu melakukan antisipasi jika terjadi overshoot dari sisi nilai tukar rupiah yang berujung pada biaya impor maupun belanja negara yang melonjak.

Ke depan, risiko yang perlu diperhatikan yakni risiko geopolitik, pemilihan presiden di negara-negara maju seperti AS, memanasnya hubungan perdagangan antara AS dengan China, perang di Timur Tengah, maupun konflik di sejumlah negara lain seperti Rusia dan Ukraina.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation