10 Tahun APBN Jokowi

10 Tahun Jokowi: Terpeleset Produksi Minyak, Gak Kuat Nanjak

mae, CNBC Indonesia
15 August 2024 06:15
[DALAM] Kilang Minyak
Foto: Topik/Kilang Minyak/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi lifting minyak mentah atau minyak bumi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin anjlok. Realisasi lifting bahkan hampir selalu meleset dari target.

Sepanjang era Jokowi (2014-2024), hanya dua kali pemerintah mampu memenuhi target lifting minyak yakni pada 2016 dan 2020. Namun, pencapaian itu juga tak menggembirakan karena target lifting sudah diturunkan dari proyeksi awal melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)-Perubahan pada 2016 ataupun melalui Perpres pada 2020 saat terjadi pandemi Covid-19.

Di era Jokowi, realisasi lifting minyak merosot tajam dari sebesar 794.000 barel per day (bpd) pada 2014 menjadi 604.710 pada 2023. Realisasi lifting tahun ini bahkan diperkirakan akan menyentuh kisaran 500.0000 pada tahun ini.
Hingga akhir Juli 2024, lifting hanya menembus 576.000 bpd padahal pada periode yang sama tahun lalu masih mencapai 615.400."

"Lifting minyak terus mencapai penurunan dan tidak mencapai target asumsi," tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani pada konferensi APBN Kita Selasa (13/8/2024).

Fakta pahit realisasi lifting dalam 10 tahun terakhir semakin menjauhkan Indonesia dari misinya untuk bisa menghasilkan lifting 1 juta bpd.

Semakin tergerusnya lifting minyak tentu saja berimbas negatif kepada neraca perdagangan, rupiah, hingga beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pasalnya, impor semakin besar dan menggerus surplus pada neraca perdagangan non-migas. Impor migas pada 2023 menembus US$ 35,8 miliar atau setara dengan Rp 561,4 triliun (kurs US$1 = 15675).

Sejumlah praktisi dan analis menjelaskan lifting minyak terus anjlok karena berkurangnya eksplorasi padahal eksplorasi merupakan syarat utama menemukan ladang minyak baru. Dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), aktivitas eksplorasi pada 2022 mencakup 30 sumur.

Jumlah tersebut jauh berkurang pada periode sebelumnya. Merujuk data APBN 1982/1983, pengeboran baru dilakukan terhadap 179 sumur pada 1980.

Tanpa eksplorasi maka Indonesia tidak akan mendapatkan sumber ladang minyak baru. Waktu yang dibutuhkan antara produksi dan penemuan ladang minyak juga semakin panjang. Artinya, semakin lama Indonesia menahan diri untuk melakukan eksplorasi maka semakin lama pula produksi baru akan tercipta.

Waktu yang dibutuhkan untuk produksi minyakFoto: Kementerian ESDM
Waktu yang dibutuhkan untuk produksi minyak

Iklim investasi yang kurang bersahabat juga dinilai menjadi penyebab lain dari jebloknya lifting. Pemerintah sebenarnya menawarkan sejumlah insentif seperti seperti pengurangan pajak atau cost recovery. Namun, negara lain juga menawarkan insentif yang tak kalah menarik. Belum lagi panjangnya perizinan yang harus dihadapi perusahaan jika ingin melakukan investasi di migas.

Anjloknya lifting minyak ini menjadi cerita sedih karena Indonesia pernah menjadi eksportir minyak pada periode 1970-awal 1980an.

Pada awal 1980an, lifting minyak Indonesia menembus 1,5-1,6 juta bpd. Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintas Sejarah menjelaskan komposisi industri migas (pengolahan minyak) pada PDB Indonesia meningkat dari 0,6% pada 1975 menjadi 5% pada 1985.

Nilai ekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada 1981-1982 dengan rata-rata tahunan mencapai US$ 14,6 miliar. Angkanya merosot tajam menjadi US$ 7,7 miliar pada 1985.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation