
Pengangguran di Perkotaan Lebih Tinggi Ketimbang Perdesaan, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengangguran di Indonesia terpantau menurun pada Februari lalu dan menjadi yang terendah sejak era reformasi atau 1997.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional pada Februari lalu mencapai 4,82%, menurun dari sebelumnya pada Februari 2023 yang mencapai 5,45%.
Jumlah pengangguran Indonesia pada Februari lalu menjadi yang terendah sejak era reformasi atau 1997, sebesar 4,69 juta.
Hal ini berarti dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 5 orang penganggur. Adapun, jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024 sebanyak 149,38 juta orang, naik 2,76 juta orang dibanding Februari 2023.
Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
Sementara itu berdasarkan provinsinya, BPS mencatat TPT tertinggi per Februari lalu berada di Banten yang mencapai 7,02%, disusul Kepulauan Riau yang mencapai 6,94%. Kedua provinsi tersebut memiliki TPT berada di atas nasional.
Meski TPT nasional menurun, tetapi tingkat pengangguran di kota-kota besar masih terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan di desa. Hal ini karena diperkotaan, banyak orang yang berasal dari desa mengadu nasib ke kota besat tetapi belum memiliki kemampuan yang mumpuni.
Tingkat pengangguran di Desa Tinggi
BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) berdasarkan daerah tempat tinggal, di perkotaan mencapai 5,89% pada Februari lalu. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan TPT di daerah perdesaan yang mencapai 3,37%.
Dibandingkan Februari 2023, TPT perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan masing-masing sebesar 1,22 persen poin dan 0,05 persen poin.
Pada periode 2015-2020, TPT perkotaan dan perdesaan cenderung mengalami kenaikan. Namun pada peridoe 2020-2024, TPT perkotaan dan perdesaan cenderung menurun.
Fenomena semakin terkonsentrasinya penduduk di kota tidak lepas dari ekonomi aglomerasi. Pemusatan kegiatan ekonomi di kota menciptakan pekerjaan yang lebih banyak dibandingkan dengan di desa.
Hal ini mendorong terjadinya migrasi penduduk desa ke kota. Permasalahannya adalah ketika tingkat migrasi desa ke kota melebihi jumlah lapangan kerja baru yang tersedia.
Situasi ini dalam jangka panjang menyebabkan surplus tenaga kerja yang kronik di kota. Surplus tenaga kerja berarti tingkat pengangguran di kota cenderung tinggi dibandingkan di daerah perdesaan.
Selain itu, perbedaan mencolok dan membuat pengangguran di perkotaan cenderung lebih tinggi ketimbang di perdesaan karena jika diperkotaan seseorang tidak mempunyai pekerjaan yang pasti dan tentunya tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, maka orang tersebut pastinya tidak bekerja, sehingga potensi menganggurnya cukup tinggi.
Berbeda jika di perdesaan, orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi memiliki kemampuan untuk bertani, maka mereka cenderung bisa melakukan kegiatan seperti bertani ke sawah atau lainnya, sehingga di desa dianggap sebagai pengangguran sebagian.
Sebagai contoh di DKI Jakarta, di mana angka TPT per Februari lalu menjadi yang tertinggi keempat di Indonesia dan berada di atas persentase TPT secara nasional. Per Februari lalu, TPT DKI Jakarta mencapai 6,03%, cukup jauh dari TPT nasional yang mencapai 4,82%.
Angka pengangguran Jakarta juga sempat melonjak tajam pada periode pandemi. Jakarta hanya mencatatkan angka pengangguran sebesar 5,34% pada Februari 2018 menjadi 10,95% pada Agustus 2020.
Wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat adalah kantong-kantong pengangguran terbesar di wilayah DKI Jakarta.
Sebagai informasi, TPT merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Jika mengacu pada data TPT per Februari lalu, maka dapat disimpulkan, bahwa dari 100 orang angkatan kerja, terdapat sekitar 6-7 orang penganggur di Jakarta.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)