
China Putus Asa, RI Bisa Kena Dampaknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral China (PBoC) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan untuk tenor satu maupun lima tahun pada hari ini, Senin (22/7/2024). Pemangkasan suku bunga diharapkan ikut mendongkrak perekonomian China yang tengah lesu. Kebijakan PBoC terbaru juga diharapkan bisa berdampak positif bagi Indonesia yang merupakan mitra dagang utama China.
Pemangkasan suku bunga terbilang mengejutkan mengingat PBoC sudah menahan suku bunga sejak September 2023 atau 10 bulan sebelumnya.
Dilansir dari Reuters, China mengejutkan pasar dengan menurunkan tingkat kebijakan suku bunga pendek utama dan tingkat peminjaman benchmark sebagai upaya untuk menguatkan pertumbuhan ekonomi di negara kedua terbesar di dunia.
Pemotongan ini dilakukan setelah China melaporkan data ekonomi kuartal kedua yang lebih lemah dari yang diperkirakan minggu lalu dan para pemimpin puncaknya mengadakan pleno yang terjadi sekali sekitar setiap lima tahun. Negara tersebut hampir menghadapi deflasi dan menghadapi krisis properti yang berkepanjangan, utang yang meningkat pesat, serta sentimen konsumen dan bisnis yang lemah. Ketegangan perdagangan juga meningkat, karena pemimpin global semakin waspada terhadap dominasi ekspor China.
China menurunkan tingkat suku bunga jangka pendek dan jangka panjang sebesar 10 basis poin (bps) yakni menjadi 3,35% untuk tenor satu tahun dan 3,85% untuk tenor lima tahun.
Pertumbuhan ekonomi China tampak mengalami mengalami penurunan untuk kuartal II-2024. Perlambatan tersebut tercermin mengingat hanya tumbuh sebesar 4,7% (year on year/yoy) atau terendah sejak kuartal I-2023.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dari perkiraan para analis. Dalam catatan AFP dan CNBC International, Bloomberg dan Reuters mensurvei PDB China 5,1%.
"Penjualan ritel yang merupakan ukuran utama konsumsi melambat menjadi hanya 2% pada bulan Juni turun dari 3,7% pada bulan Mei," kata Biro Statistik Nasional (NBS) China dalam sebuah pernyataan.
Kepala Ekonom China di Macquarie, Larry Hu mengatakan, "Pemotongan hari ini adalah langkah yang tak terduga, kemungkinan besar karena perlambatan tajam dalam momentum pertumbuhan di kuartal kedua serta panggilan untuk 'mencapai target pertumbuhan tahun ini' oleh pleno ketiga."
Bank Sentral Rakyat China (PBoC) mengumumkan pada hari Senin bahwa mereka akan menurunkan tingkat reverse repo tujuh hari menjadi 1,7% dari sebelumnya 1,8%, dan juga akan meningkatkan mekanisme operasi pasar terbuka.
Sementara, Kepala Strategi FX & suku bunga Greater China di BNP Paribas, Ju Wang menyampaikan bahwa ekspektasi meningkatnya bank sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mulai memangkas suku bunga juga memberikan ruang bagi PBoC untuk melonggarkan kebijakannya, mengingat tekanan yang yuan alami karena selisih imbal hasil yang lebar dengan dolar AS.
Lebih lanjut, Presiden dan Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management, Zhang Zhiwei mengatakan fakta bahwa PBoC tidak menunggu Fed untuk memotong terlebih dahulu menunjukkan bahwa pemerintah mengakui tekanan turun pada ekonomi China.
Dia mengharapkan lebih banyak penurunan suku bunga di China setelah The Fed memulai siklus pemotongan suku bunga.
Pemotongan suku bunga China bertujuan untuk "memperkuat penyesuaian counter-cyclical untuk lebih mendukung ekonomi riil," kata PBOC dalam pernyataannya.
Dampak Pemangkasan Suku Bunga China terhadap Indonesia
Situasi China saat ini akan memberikan pengaruh bagi Indonesia, terutama karena China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia dan mitra dagang terbesar Indonesia.
Sebagai catatan, sektor real estate dan terkait di China memberikan kontribusi lebih dari seperempat pendapatan China. Situasi China dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Maka dari itu, ketika sektor real estate dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan China pun akan semakin besar.
Ekonom dan mantan Menteri Keuangan di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri menegaskan bahwa pasar barang negara yang sangat berpengaruh pada perdagangan Indonesia dan negara ASEAN adalah China. Pelemahan permintaan impor China yang melambat akan membuat permintaan ekspor dari Indonesia juga melambat.
"1% perlambatan ekonomi di China, itu memiliki dampak perkiraannya sebesar 0,3%," kata dia dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2024, dikutip Selasa (28/11/2023).
Sebagai catatan, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), total ekspor Indonesia ke China sepanjang 2023 sebesar US$64,94 miliar yang terdiri dari ekspor migas sebesar US$2,6 miliar dan ekspor non-migas sebanyak US$62,33 miliar.
Jika dibandingkan dengan 2022, total ekspor Indonesia ke China mengalami penurunan sebesar 1,37% dengan penurunan ekspor non-migas sebesar 1,78%.
Jumlah ekspor Indonesia ke China pada periode Januari-Mei 2024 juga cenderung menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kemendag mencatat terjadi penurunan sebesar 11,95% dengan penurunan terbesar dari sektor migas yakni sebesar 16,9%.
Jika perekonomian China kembali bergerak, maka ekspor Indonesia ke China pun akan bertambah dan surplus neraca perdagangan dengan China akan semakin lebar.
Untuk diketahui neraca perdagangan Indonesia dengan China pada 2023 mengalami turnover dari yang biasanya defisit sepanjang 2018-2022 menjadi surplus sebesar US$2,05 miliar.
Namun, jika ekonomi di China masih cenderung lemah, maka jumlah surplus neraca perdagangan berpotensi menipis dan akan menekan total surplus neraca perdagangan Indonesia.
Dampak lanjutannya yakni tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di tengah suplai dolar AS di dalam negeri tidak cukup banyak. Alhasil rupiah berpotensi melemah dan berdampak negatif bagi perusahaan yang melakukan impor untuk menjalankan bisnisnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)