
Siap-Siap Pak Jokowi! La Nina Bisa Lebih Kejam dari El Nino

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia cenderung melandai tiga bulan terakhir. Namun ada potensi inflasi kembali mengalami kenaikan di momen La Nina tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau deflasi sebesar 0,08% pada Juni 2014 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Secara tahunan (year on year/yoy), IHK masih naik atau mengalami inflasi sebesar 2,51% pada Juni 204. Inflasi inti melandai ke 1,9% (yoy) pada Juni.
Dengan deflasi pada Juni 2024 maka deflasi sudah terjadi dua bulan beruntun.
Deflasi selama dua bulan beruntun adalah yang pertama sejak Agustus dan September 2020 atau awal pandemi Covid-19.
Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia mengatakan deflasi secara bulanan pada Juni disebabkan oleh melandainya harga komoditas pangan dan normalisasi setelah puasa. Namun, dia mengatakan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah juga sudah tertekan.
"Kalau daya beli untuk kelas bawah memang melemah sekarang tetapi untuk kelas menengah atas kita lihat di kuartal II-2024 masih OK," tutur Barra kepada CNBC Indonesia.
Sebagai informasi, sekitar 75% dari pengeluaran kelas bawah dihabiskan untuk membeli makanan. Harga bahan pangan yang sempat melejit tahun lalu dan hingga Lebaran di April 2024 membebani mereka.
Dengan penghasilan yang tidak naik maka mereka akan memilih mengurangi pembelian. Permintaan pun akan melambat dan harga akan turun.
Sementara angka inflasi tahunan kali ini pada dasarnya masih cukup aman karena berada dalam target yang diinginkan oleh Bank Indonesia (BI) bahwa inflasi 2024 yakni dalam rentang 1,5-3,5%. Namun yang perlu dicermati yakni momen La Nina berpotensi kembali menaikkan angka inflasi.
La Nina Datang, Inflasi Bisa Kembali Terbang
Bahana Sekuritas dalam laporannya pada 1 Juli 2024 yang berjudul Deflation despite Eid and school-holiday season menyampaikan bahwa saat ini iklim global sedang beralih dari El Nino panas ke La Nina dingin yang dimulai Juli ini.
Untuk diketahui, dikutip dari Direktorat Jenderal Perkebunan, La Nina adalah kebalikan dari El Nino, di mana suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian timur dan tengah menjadi lebih dingin dari biasanya. Dampak dari La Nina sering kali berbeda dengan El Nino, tetapi tidak selalu lebih baik.
Di Indonesia, La Nina sering kali dibayangkan sebagai pembawa hujan berlimpah yang dapat mengatasi kekeringan yang diakibatkan oleh El Nino. Namun, hujan yang berlebihan juga dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor, terutama di daerah-daerah yang topografinya cenderung datar.
Banjir dan tanah longsor yang disebabkan oleh hujan lebat dapat menyebabkan kerusakan infrastruktur, kehilangan nyawa, dan kerugian materi yang besar. Tanaman yang terendam air juga bisa mati karena kelebihan air, mengakibatkan gagal panen yang sama parahnya dengan kekeringan.
Selain itu, La Nina juga dapat memengaruhi musim tanam dan panen, dengan hujan yang berlimpah kadang-kadang menyebabkan penundaan dalam penanaman atau panen. Hal ini dapat mengganggu siklus pertanian dan mengakibatkan ketidakpastian bagi petani dan peternak.
Kondisi La Nina ini dinilai Bahana berpotensi terjadi lonjakan inflasi pangan di Indonesia lebih parah, dengan hujan dan cuaca lebih dingin menyebabkan kegagalan panen di banyak daerah.
La Nina berisiko meningkatkan hujan ekstrem yang memicu potensi berkembangnya hama dan penyakit tanaman.
Tak hanya itu, risiko banjir membuat distribusi pangan juga cenderung terganggu karena jalan yang terkena banjir tidak bisa dilewati, alhasil pengiriman juga terganggu karena proses pengiriman bisa molor akibat banjir.
Kekhawatiran atas potensi dampak La Nina pada produksi di beberapa pemasok memberikan dukungan lebih lanjut terhadap harga.
![]() Sumber: Bahana Sekuritas |
Rata-rata Indexed Inflation pada periode El Nino yang terjadi pada Oktober 2006, November 2009, Oktober 2015, Oktober 2018, dan Oktober 2023 yakni sebesar 0,7. Sementara rata-rata Indexed Inflation pada periode La Nina yang terjadi pada Oktober 2005, November 2007, Agustus 2010, November 2017, dan September 2022 yakni sebesar 1,37.
Hal ini menunjukkan bahwa inflasi harga barang bergejolak/volatile pada saat La Nina tercatat lebih tinggi dibandingkan El Nino.
Bahana juga memperkirakan berdasarkan pola historis kemungkinan adanya La Nina yang panjang pada 2024-25 setelah El Nino kuat yang didominasi oleh kekeringan ekstrem dan gelombang panas, seperti pada tahun 2022-23.
Kegagalan panen dan terhambatnya distribusi barang akibat La Nina berpotensi semakin besar dampaknya terhadap kenaikan harga barang mengingat impor akan lebih tinggi dibandingkan periode-periode sebelumnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ketika impor mengalami kenaikan di tengah nilai tukar rupiah yang melemah, maka imported inflation akan meningkat dan berujung pada tingginya harga barang impor.
Bahana menegaskan bahwa bagi ekonomi Indonesia, masih ada kemungkinan ada dampak inflasi tertinggal dari kenaikan harga bahan bakar dan pelemahan rupiah (impor pangan yang lebih mahal).
Ancaman lonjakan inflasi ini tentu saja harus menjadi perhatian besar pemerintah. Terlebih, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali mengingatkan bahaya bencana alam terhadap ketahanan pangan.
2010, La Nina Terparah di Indonesia?
Sudah beberapa tahun fenomena El Nino dan La Nina terjadi di Indonesia dan beberapa negara di wilayah Pasifik bagian timur. Diketahui, fenomena keduanya sudah muncul sejak 1951.
Berdasarkan data dari Oceanic Niño Index (ONI), peristiwa didefinisikan sebagai lima periode dalam tiga bulan yang tumpang tindih berturut-turut pada atau di atas anomali +0,5 untuk El Nino dan pada atau di bawah anomali -0,5 untuk La Nina.
Meski di Indonesia sudah terjadi sejak lama, tetapi dari pengukuran terkait, tahun 2010 menjadi yang paling besar efek dari La Nina.
Di 2010, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) saat itu menyebut kemarau di Indonesia sebagai "Kemarau Basah". Kondisi cuaca seperti ini memberi pengaruh buruk yang signifkan pada sektor pertanian, kegagalan panen terjadi mulai dari tebu, tembakau sampai di awal 2011 ini terjadi pada komoditi cabai. Dampak buruk ini telah dirasakan di berbagai daerah, yaitu dengan meningkatnya harga komoditas pertanian.
![]() Bencana Hidrometeorologi Indonesia 2010 |
Tak hanya itu saja, La Nina Indonesia di 2010 membawa banyak bencana hidrometeorologi. Setidaknya banjir menempati urutan pertama bencana hidrometeorologi di Indonesia pada 2010, yakni sebanyak 12 kasus. Berikutnya ada puting beliung dan tanah longsor.
Dampak bencana hidrometeorologi tersebut, sebanyak 1.907 jiwa meninggal dunia dan hilang. Sedangkan 1.663 juta jiwa terpaksa menderita dan mengungsi.
Selain itu, dampak kerusakaan akibat bencana ini juga tak sedikit. Sebanyak 59.501 rumah rusak, 1.557 fasilitas pendidikan rusak, 367 fasilitas kesehatan rusak, dan 628 fasilitas peribadatan juga rusak.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)