
Ini Rahasia Malaysia Buat Ringgit Perkasa Usai Ambruk, RI Mau Niru?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan ringgit Malaysia relatif lebih stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan dengan rupiah Indonesia. Hal ini tak lepas dari peran Bank Negara Malaysia (BNM) serta kondisi perekonomiannya yang baik.
Dilansir dari Refinitiv, secara (year to date/ytd) hingga Kamis (20/6/2024), ringgit terpantau melemah 2,57% terhadap dolar AS sementara rupiah ambles 6,69%.
Begitu pula sepanjang bulan ini, ringgit lebih stabil dengan depresiasi tipis 0,08% sedangkan rupiah melemah lebih dalam yakni 1,23%.
Dalam sepekan ini, ringgit bahkan sudah menguat 0,1% sementara rupiah masih jeblok 0,34%.
![]() Sumber: Refinitiv |
Dalam sepekan ini, ringgit juga menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat. Mata uang lain seperti yen, yuan, hingga dolar Singapura ambruk. Rupiah sudah ambruk 0,33% sepekan ini. Pelemahan rupiah yang terus menerus ini membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar untuk menjelaskan posisi rupiah.
Tekanan terhadap mata uang suatu negara biasanya dapat diredam dengan memanfaatkan cadangan devisa (cadev) negara tersebut.
Sebagai contoh Bank Indonesia (BI) menggunakan cadevnya dari US$146,4 miliar pada Desember 2023 menjadi US$139 miliar pada Mei 2024 atau turun US$7,4 miliar.
Sementara BNM justru relatif tidak memanfaatkan cadev dalam menstabilkan ringgit, karena angka cadev BNM cenderung tidak mengalami perubahan dari akhir tahun lalu di angka US$113,5 miliar menjadi US$113,6 miliar pada Mei 2024 atau naik US$0,1 miliar.
Dikutip dari todayonline.com, ahli strategi valuta asing senior di United Overseas Bank, Mr Peter Chia mengungkapkan bahwa kuatnya ringgit terjadi akibat langkah-langkah bersama yang dilakukan BNM untuk mendorong konversi pendapatan devisa yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan terkait pemerintah, korporasi, eksportir dan investor ke dalam ringgit. Konversi akan dilakukan hingga akhir 2024.
Dengan mengkonversi mata uang asing kembali ke ringgit, permintaan ringgit di pasar valuta asing meningkat, sehingga menyebabkan apresiasi terhadap mata uang lainnya.
Sependapat dengan hal tersebut, Kepala strategi valuta asing Maybank, Saktiandi Supaat, mengatakan bahwa ringgit merupakan salah satu mata uang regional dengan kinerja terbaik mengingat kombinasi faktor-faktor domestik dan eksternal yang menguntungkan.
"Dalam jangka menengah, kelanjutan tujuan ekonomi Madani yang jelas dapat menjadi pertanda baik bagi perbaikan ekonomi dan ringgit Malaysia. Hal ini mencakup konsolidasi fiskal dan tujuan lainnya, peningkatan fundamental makro utama, dan peningkatan arus pariwisata," kata Supaat.
Lebih lanjut, Kepala ekonom OCBC, Selena Ling mengatakan ada lebih banyak investasi asing di ekuitas Malaysia, yang terus memperkuat ringgit.
Kementerian Keuangan Malaysia mengatakan penguatan ringgit terjadi setelah tindakan yang diambil dengan bank sentral beberapa bulan lalu untuk mendorong perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pemerintah (GLC) dan perusahaan-perusahaan investasi terkait pemerintah (GLIC) untuk mendatangkan pendapatan dari investasi asing.
Upaya tersebut juga mencakup peningkatan interaksi dengan eksportir untuk mengkonversi pendapatan menjadi ringgit, pemantauan konversi pendapatan ekspor dan impor, serta memperkuat perekonomian dalam negeri dan melanjutkan reformasi fiskal yang dijanjikan.
Tidak sampai di situ, peneliti senior di Institut Penelitian Ekonomi Malaysia, Shankaran Nambiar mengatakan kepada Channel News Asia bahwa ia memperkirakan kedatangan wisatawan akan meningkat pada bulan Juni karena wisatawan dari negara-negara seperti China dan India berupaya menghindari panas terik, hal yang menurut Kementerian Keuangan akan meningkatkan permintaan ringgit dan memperkuat nilainya.
Intervensi BNM
BNM menjaga ringgit dengan menahan suku bunganya di level 3% dan belum berencana untuk memangkas suku bunganya dalam waktu dekat.
Perekonomian yang menguat, inflasi yang rendah, dan kinerja mata uang yang mengungguli sebagian besar negara-negara lain di Asia Tenggara pada tahun ini mendukung keputusan BNM untuk tetap bertahan pada Mei 2024.
Tidak hanya soal suku bunga, BNM juga menggunakan mata uang forward untuk mendukung ringgit khususnya net short forward book.
Posisi net short forward book melebar menjadi negatif US$27,7 miliar pada April 2024.
Rincian jatuh tempo posisi short paling banyak yakni lebih dari tiga bulan hingga satu tahun sebesar U$14,95 miliar, kemudian satu hingga tiga bulan sekitar US$7,98 miliar, dan jangka sangat pendek yakni hingga satu bulan berkisar US$4,91 miliar.
"Posisi net short dalam forward book ini telah terbentuk selama bertahun-tahun, sebagian mencerminkan upaya BNM untuk mendukung ringgit, dan menghindari penarikan cadangan devisa bruto yang lebih jelas," kata Philip McNicholas, ahli strategi kedaulatan Asia di Robeco Group di Singapura.
![]() Sumber: BNM |
BNM bukan satu-satunya bank sentral yang memanfaatkan forward booknya untuk mendukung mata uangnya. Reserve Bank of India (RBI) memiliki posisi net short ke depan sebesar US$16 miliar pada bulan April karena berupaya mendukung rupee, menurut catatan penelitian bulan ini dari Bank of America Corp.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)