Mata Uang Asia Kompak Ambles, Rupiah Paling Menderita

Revo M, CNBC Indonesia
30 May 2024 10:17
Mata uang Rupiah, Yuan, dan Won. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Mata uang Rupiah, Yuan, dan Won. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia terpantau berada di zona merah secara berjamaah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah perkasanya ekonomi AS.

Dilansir dari Refinitiv pada Kamis (30/5/2024) pukul 09:27 WIB, mayoritas mata uang Asia melemah yang dipimpin oleh rupiah Indonesia yang tercatat anjlok 0,5% disusul dengan won Korea Selatan yang melemah 0,35%, hingga yuan China yang turun tipis 0,01%.

Namun berbeda dengan yen Jepang yang justru menguat sebesar 0,13%.

Sementara indeks dolar AS (DXY) mengalami penguatan sebesar 0,52% ke angka 105,16 atau lebih tinggi dibandingkan penutupan perdagangan kemarin yang stagnan 0%.

Kuatnya ekonomi AS menjadi pendorong penguatan DXY hingga akhirnya menekan mata uang lainnya.

Kondisi manufaktur AS terpantau mengalami penguatan ditandai oleh PMI Manufaktur AS Global S&P naik menjadi 50,9 pada Mei 2024, meningkat dari 50 pada bulan April.

Angka tersebut menandakan sedikit perbaikan secara keseluruhan pada kondisi bisnis di sektor manufaktur, karena output dan lapangan kerja memberikan kontribusi yang semakin positif.

Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz mengatakan bahwa indeks manufaktur AS yang menguat menjadi salah satu pendorong rupiah semakin tertekan.

Tidak sampai disitu, konsumsi masyarakat AS juga diperkirakan masih cukup kuat.

Mengutip hasil Conference Board, indeks kepercayaan konsumen AS naik pada Mei menjadi 102 dari 97,5 pada bulan sebelumnya dan di atas ekspektasi pasar yakni 95,9. Hal ini pada akhirnya memberikan angin segar bagi DXY untuk mengalami penguatan.

Ketika konsumsi masyarakat AS cukup baik, maka inflasi akan semakin sulit ditekan dan cenderung memanas.

Sebagai catatan, inflasi AS periode April 2024 tercatat di angka 3,4% year on year/yoy.

Selain PMI manufaktur dan konsumsi, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun melonjak tinggi bahkan sempat menyentuh 4,62%.

Kenaikan yield Treasury ini terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam dan mencerna lelang obligasi lima tahun yang buruk.

Yield Treasury kembali naik setelah lelang obligasi 5 tahun oleh Departemen Keuangan AS senilai US$70 miliar menunjukkan permintaan yang rendah. Rasio bid-to-cover, yang merupakan ukuran permintaan yang diawasi dengan ketat, berada pada angka 2,3, di bawah rata-rata 10 lelang sebesar 2,45.

Investor juga mempertimbangkan bagaimana keadaan perekonomian dan menunggu data ekonomi baru yang dirilis sepanjang pekan ini yang dapat menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation