
Katanya RI Negara Agraris Tapi Bunga Kredit Untuk Petani Kok Selangit?

Jakarta, CNBC Indonesia - Miris, satu kata yang bisa diungkapkan untuk menggambarkan kondisi industri pertanian di Indonesia saat ini.
Fakta menyedihkan datang dari Jawa Tengah, provinsi yang mayoritas warganya beprofesi sebagai petani, malah menghadapi beban suku bunga kredit pertanian jumbo.
Pertanian, Sektor Vital Jawa Tengah
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk yang bekerja di bidang Pertanian, Kehutanan dan Perikanan porsinya nyaris seperempat dari total penduduk Jawa Tengah. Porsi ini bahkan naik dari 23,74% menjadi 24,78% pada 2022.
Bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah, pertanian juga menyumbang porsi yang cukup besar. Menurut data BPS pada 2023, sektor pertanian berada di urutan ketiga setelah industri pengolahan dan perdagangan.
Struktur Perekonomian Jawa Tengah 2023
![]() Struktur Perekonomian Jawa Tengah 2023 |
Sektor pertanian menjadi vital bagi perekonomian dan kelangsungan hidup warga Jawa Tengah. Namun, fakta menyedihkan datang ketika suku bunga yang ditawarkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sangat tinggi. Kondisi ini menyulitkan petani untuk mendapatkan kredit murah.
Suku Bunga Sektor Pertanian Memberatkan Petani
Mengutip data Otoritas Jasa Keungan (OJK) per Februari 2024, rata-rata suku bunga untuk sektor pertanian, perburuhan, dan kehutanan di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menempati posisi kedua tertinggi dari seluruh sektor, mencapai 25,21%.
Meminjam uang untuk sektor pertanian di bank umum juga terhitung masih mahal, hingga Februari 2024, rata-rata suku bunga nyaris 10%, berada di urutan ke-5 dari 17 sektor lainnya.
Umpamanya, ada seorang petani butuh pinjaman Rp100 juta, jika pinjam di BPR Ia harus menyiapkan kisaran Rp25 juta uang lebih untuk bayar ongkos pinjaman. Sementara, jika pinjama di bank umum, ongkos pinjamannya Rp10 juta.
Pada dasarnya kredit dimanfaatkan masyarakat sebagai modal guna mengembangkan bisnisnya, termasuk di sektor pertanian. Namun, petani harus bagaimana jika untuk mendapatkan modal saja dibebankan suku bunga yang berat.
Pertanian juga erat kaitannya dengan pangan. Satu pertanyaan yang terbesit hanya "Bagaimana kelangsungan pangan RI jika permodalan untuk petani saja sungguh berat bunganya?"
Pembiayaan Berat, Hasil Panen Tak Sesuai Ekspektasi
Realita pedih selanjutnya, ketika seorang petani memiliki beban pinjaman yang berat, malah dihadapkan dengan hasil panen yang seringkali tak semulus yang diperkirakan.
Perubahan musim menjadi tidak pasti gara-gara cuaca yang suit prediksi, ditambah ada fenomena El-Nino dan sebentar lagi La-Nina memberi dampak buruk bagi panen yang tak sesuai ekspektasi.
Sebut saja untuk komoditi beras yang mengalami penyusutan hasil panen pada 2023. - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras nasional tahun 2023 anjlok 1,39% atau sekitar 440 ribu ton dibandingkan tahun 2022.
Produksi beras pada periode Januari-April 2024 juga diperkirakan bakal lebih rendah dibandingkan periode sama 2023.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah memaparkan, produksi beras nasional tahun 2023 tercatat mencapai 31,10 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 31,54 juta ton. Angka tersebut merupakan angka tetap.
Sedangkan, untuk produksi beras pada periode Januari-April 2024, untuk angka sementara, BPS memprediksi anjlok 17,52% atau 2,28 juta ton dari 12,98 juta ton pada Januari-April 2023 menjadi 10,71 juta ton.
"Penurunan tersebut merupakan konsekuensi penurunan luas panen padi yang terdampak El Nino," katanya dalam dalam keterangan pers, Jumat (1/3/2024).
Luas panen padi tahun 2023 tercatat juga menyusut 2,29% atau sekitar 240 ribu hektare (ha). Dari 10,45 juta ha tahun 2022 menjadi 10,21 juta ha tahun 2023.
Kisah Pedih Petani, Berimbas ke BPR Bangkrut?
Kisah pedih petani dari beban pinjaman yang berat sampai panen yang tidak mulus, bagaikan jatuh tertimpa tangga pula. Ini juga berimplikasi ke sektor perbankan, terutama BPR yang memberikan suku bunga pinjaman tinggi.
Ketika panen tak sesuai harapan, maka pendapatan petani akan terguncang. Imbasnnya, kemampuan untuk bayar pinjaman pun semakin sulit, yang membuat BPR menderita kredit macet.
Meskipun ada faktor lainnya, seperti missmanagement atau tata kelola buruk. Jika menilai dari faktor petani saja, maka kelangsungan BPR juga terancam, terutama di Jawa Tengah yang sebagian besar warga-nya berprofesi sebagai petani.
Data OJK hingga Mei 2024, juga mencatat sebagian besar BPR yang bangkrut ini mayoritas dari Jawa Tengah, tepatnya ada 5, yakni BPR Usaha Madani Karya Mulia dari Surakarta, BPR Purworejo, PT BPRS Saka Dana Mulia dan BPR Dananta dari Kudus, serta BPR Bank Jepara Artha
Fenomena ini menjadi refleksi bersama, terutama bagi pemerintah supaya bisa menjadi penengah yang memberikan uluran tangan untuk mensejahterakan petani. Ketika petani bisa sejahtera, kelangsungan pangan bagi negeri pun akan semakin berkualitas.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)