
Jika Aurora Muncul di Indonesia, Benarkah Jadi Tanda Kiamat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena cahaya berkilauan di langit dengan warna warni seperti lampu atau yang disebut Aurora kini menjadi perbincangan hangat.
Aurora hadir dengan tampilan cahaya alami yang berkilauan di langit. Lampu biru, merah, kuning, hijau, dan oranye bergeser perlahan dan berubah bentuk seperti tirai yang bertiup lembut. Fenomena alam ini hanya terlihat pada malam hari, dan biasanya hanya muncul di wilayah kutub bawah.
Aurora terlihat hampir setiap malam di dekat Lingkaran Arktik dan Antartika, yaitu sekitar 66,5 derajat utara dan selatan Khatulistiwa. Di utara, penampakannya disebut aurora borealis, atau cahaya utara. Di selatan disebut aurora australis atau cahaya selatan.
Namun, ilmuwan menyebut bisa saja aurora terlihat di negara wilayah khatulistiwa seperti Indonesia, namun ada risiko yang menyertainya. Bahkan hal itu bisa menyebabkan 'kiamat' pada satelit atau kiamat internet. Hal ini dijelaskan oleh Guru Besar Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Dhani Herdiwijaya dalam unggahan Bosscha Observatory.
![]() Aurora Borealis, or the Northern Lights, above the Forth Bridge at North Queensferry, Scotland Friday May 10, 2024. (Jane Barlow/PA via AP) |
Belum lama ini, fenomena cahaya utara atau aurora borealis di belahan Bumi utara dan cahaya selatan atau aurora australis di belahan Bumi Selatan menjadi perbincangan warganet Indonesia selama akhir pekan lalu.
Badai Matahari pekan lalu yang memunculkan fenomena aurora ini dipicu oleh partikel energik yang diarahkan ke kutub Bumi dan bertabrakan dengan atom oksigen dan nitrogen di atmosfer Bumi. Beberapa negara melaporkan kemunculannya.
Ahli astrofisika Janna Levin mengatakan partikel berenergi yang menyebabkan gelombang aurora saat ini bergerak jauh lebih lambat, sehingga menyebabkan fenomena tersebut berlangsung selama akhir pekan kemarin.
Aurora pernah mampir di Asia
Warganet Indonesia memang tidak bisa melihat langsung penampilan malam spektakuler tersebut yang muncul imbas badai Matahari ekstrem, terdahsyat dalam 20 tahun terakhir, yang melanda Bumi.
Fenomena tersebut hanya bisa dinikmati di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.
Namun, Guru Besar Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Dhani Herdiwijaya mengatakan dalam sejarahnya aurora pernah terlihat di negara Asia, contohnya Jepang. Saat itu, aurora terlihat usai badai Matahari terkuat pada 1859.
Akan tetapi kehadiran aurora akan menimbulkan peristiwa Carrington, yakni badai geomagnetik yang sangat besar. Badai ini terjadi ketika gelembung besar gas super panas yang disebut plasma terlempar dari permukaan Matahari dan menghantam Bumi. Gelembung ini dikenal sebagai lontaran massa koronal.
Plasma lontaran massa koronal terdiri dari awan proton dan elektron, yang merupakan partikel bermuatan listrik. Ketika partikel-partikel ini mencapai Bumi, mereka berinteraksi dengan medan magnet yang mengelilingi planet tersebut. Interaksi ini menyebabkan medan magnet terdistorsi dan melemah, yang pada gilirannya menyebabkan perilaku aneh aurora borealis dan fenomena alam lainnya. Badai geomagnetik juga mengancam menyebabkan pemadaman listrik dan internet.
![]() The Northern Lights, or Aurora Borealis, illuminate the night sky over the mountains in Le Col des Mosses pass, Ormont-Dessous, Switzerland, during the early hours of Saturday, May 11, 2024. (Jean-Christophe Bott/Keystone via AP) |
Selain gangguan listrik, komunikasi juga akan terganggu dalam skala global. Penyedia layanan internet bisa turun, yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan sistem yang berbeda untuk berkomunikasi satu sama lain. Sistem komunikasi frekuensi tinggi seperti radio darat-ke-udara, gelombang pendek, dan radio kapal-ke-pantai akan terganggu. Satelit yang mengorbit di sekitar Bumi dapat rusak akibat arus induksi badai geomagnetik yang membakar papan sirkuitnya. Hal ini akan menyebabkan gangguan pada telepon berbasis satelit, internet, radio dan televisi.
Selain itu, ketika badai geomagnetik menghantam Bumi, peningkatan aktivitas matahari menyebabkan atmosfer mengembang ke arah luar. Ekspansi ini mengubah kepadatan atmosfer tempat satelit mengorbit. Atmosfer dengan kepadatan yang lebih tinggi menciptakan hambatan pada satelit, yang memperlambatnya. Dan jika tidak dipindahkan ke orbit yang lebih tinggi, ia bisa jatuh kembali ke Bumi.
Salah satu bidang gangguan lain yang berpotensi mempengaruhi kehidupan sehari-hari adalah sistem navigasi. Hampir setiap moda transportasi, mulai dari mobil hingga pesawat terbang, menggunakan GPS untuk navigasi dan pelacakan. Bahkan perangkat genggam seperti ponsel, jam tangan pintar, dan tag pelacak bergantung pada sinyal GPS yang dikirim dari satelit. Sistem militer sangat bergantung pada GPS untuk koordinasi. Sistem deteksi militer lainnya seperti radar over-the-horizon dan sistem deteksi kapal selam dapat terganggu, sehingga akan menghambat pertahanan nasional.
CNBC Indonesia Research