
Harga Batu Bara Masih Nyunsep, Sentuh US$ 140 per Ton

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan masih lanjut turun. Tekanan terhadap kekuatan dolar AS kembali terulang setelah risalah the Fed dini hari tadi masih hawkish.
Menurut data Refinitiv Harga batu bara ICE Newcastle kontrak Juni pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (22/5/2024) bertengger di US$ 140 per ton, melemah tipis 0,04% dalam sehari.
Pelemahan harga batu bara sudah terjadi dalam tiga pekan beruntun setelah mencapai level tertinggi pada tahun ini. Alhasil, dalam sebulan batu bara masih terperosok ke zona merah sekitar 2,10%.
Harga batu bara dunia bergerak dipengaruhi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) sebagai konsumen terbesar ketiga di dunia. Sebab saat suku bunga tinggi, pabrik-pabrik akan berat untuk ekspansi sehingga akan menahan permintaan batu bara untuk listrik.
AS masih mengandalkan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik. Sumber energi batu bara masih menguasai sekitar 16% pembangkit listrik, lebih besar dibandingkan pembangkit listrik tenaga angin yang sekitar 11%, pembangkit listrik tenaga air yang 6%, atau pembangkit listrik tenaga surya yang 4% dari campuran pembangkit listrik.
Risalah pertemuan kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 30 April -1 Mei yang dirilis pada Rabu malam atau Kamis dini hari waktu Indonesia menunjukkan kekhawatiran dari para pengambil kebijakan tentang kapan saatnya untuk melakukan pelonggaran kebijakan.
Pertemuan tersebut menyusul serangkaian data yang menunjukkan inflasi masih lebih tinggi dari perkiraan para pejabat the Fed sejak awal tahun ini. Sejauh ini, The Fed masih menargetkan inflasi melandai 2%.
"Para pejabat mengamati bahwa meskipun inflasi telah menurun selama setahun terakhir, namun dalam beberapa bulan terakhir masih kurang ada kemajuan menuju target 2%" demikian isi risalah the Fed.
Risalah juga menjelaskan bahwa "Sebagian pejabat menyatakan kesediaannya untuk memperketat kebijakan lebih lanjut guna mengatasi risiko inflasi yang masih panas"
Kini peluang penurunan suku bunga kian menyusut, melansir perhitungan CME FedWatch Tool, pasar memperkirakan 59% penurunan suku bunga the Fed sebesar 25 basis poin (bps) pada September. Peluang ini turun dari sebelumnya yang mencapai 65,7%.
Akibat itu, pelaku pasar kini melihat era suku bunga tinggi masih akan berlanjut. Hal ini turut berdampak pada kekuatan dolar AS (DXY) kembali menanjak.
CNBC Indonesia memantau DXY hingga penutupan kemarin menguat 0,28% menuju 104,91. Dampak pada harga komoditas biasanya akan berbanding terbalik, termasuk batu bara. Pasalnya, dolar AS yang menguat seakan membuat ongkos untuk beli lebih malah, imbasnya permintaan bisa melemah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)