
Inflasi AS Jadi Perhatian Pasar Pekan Depan, Bakal Bergejolak?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada pekan ini perdagangan pasar keuangan Indonesia hanya berlangsung selama tiga hari, sehingga ada kemungkinan bahwa sentimen pasar dari eksternal atau luar negeri tidak sepenuhnya terserap di dalam negeri.
Ada kemungkinan sentimen pasar pada pekan ini baru akan diserap oleh pelaku pasar dalam negeri pada pekan depan, ditambah sentimen pasar di global pada pekan depan sehingga volatilitas pasar keuangan di dalam negeri pada pekan depan berpotensi makin besar.
Adapun berikut beberapa sentimen pasar yang akan menjadi penggerak pasar keuangan dalam negeri pada pekan depan.
Data Tenaga Kerja AS
Pada Jumat pekan lalu, saat Indonesia sedang libur panjang Hari Kenaikan Yesus Kristus, data klaim pengangguran Amerika Serikat (AS) untuk periode pekan yang berakhir 4 Mei 2024 dirilis. Data Klaim pengangguran melonjak menjadi 213.000, dari sebelumnya sebesar 210.000 klaim.
Lonjakan klaim pengangguran ini memberi sinyal jika ekonomi AS kemungkinan mulai mendingin.
Sejumlah pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) juga mengindikasikan jika mereka mulai melihat inflasi terkendali.
Sebelumnya pada rapat awal Mei lalu, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga di level 5,25-5,50%. The Fed juga menegaskan jika tidak aka nada lagi kenaikan suku bunga tahun ini.
Pidato Pejabat The Fed
Pada pekan lalu, beberapa pejabat The Fed juga telah memberikan pernyataannya terkait arah kebijakan moneter kedepan. Namun, masih ada perbedaan pendapat diantara mereka.
Menurut Presiden The Fed New York, John Williams, kondisi moneter saat ini cukup untuk menurunkan inflasi.
Berikutnya ada Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin, yang mengatakan bahwa kebijakan moneter saat ini cukup ketat dan pada akhirnya membawa inflasi dalam target tahunan The Fed sebesar 2%, sementara kekuatan relatif di pasar kerja akan memberi bank cukup ruang untuk menunggu sampai hal ini terjadi.
Namun, Presiden The Fed Dallas Lorie Logan mengatakan tidak jelas apakah kebijakan moneter cukup ketat untuk menurunkan inflasi ke sasaran bank sentral AS sebesar 2%, dan masih terlalu dini untuk memangkas suku bunga.
Sementara menurut Presiden The Fed Boston Susan Collins, kebijakan suku bunga The Fed kemungkinan perlu tetap pada level saat ini sampai inflasi bergerak 'berkelanjutan' menuju target bank sentral sebesar 2%.
Pendapat para pejabat The Fed yang masih bervariasi tersebut membuat pasar kembali dihadapkan dengan ketidakpastian kapan berakhirnya era suku bunga tinggi.
Pada pekan depan, pidato dari para pejabat The Fed masih akan berlanjut dan pelaku pasar akan memantaunya apakah komentar para pejabat tersebut masih bervariasi atau justru sudah mulai bernada dovish.
Namun, pasar tetap memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuannya pada pertemuan September mendatang. Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan bahwa para pelaku pasar memperkirakan peluang sebesar 48,6% untuk penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada September 2024.
Inflasi China
Pada Sabtu lalu, China telah merilis data inflasinya pada periode April 2024. Biro Statistik Nasional (NBS) melaporkan Indeks harga konsumen (IHK) yang meningkat 0,3% dari tahun sebelumnya (yoy).
Kenaikan tersebut mencatatkan angka lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan 0,1% pada Maret 2024.
Sedangkan harga pabrik tetap berada dalam deflasi, seperti yang telah terjadi sejak akhir 2022. Indeks harga produsen turun 2,5% pada April 2024 dari tahun sebelumnya (yoy).
Pemerintah China sendiri telah kesulitan mendorong peningkatan pengeluaran rumah tangga, di kala lesunya sektor properti dan pasar kerja yang lemah.
Penurunan harga produsen menekan keuntungan perusahaan dan membuat mereka enggan untuk berinvestasi.
Survei terbaru terhadap lebih dari 20.000 pengecer oleh Kamar Dagang Umum China menunjukkan bahwa nilai pesanan rata-rata mengalami kontraksi paling besar dalam sembilan bulan, walaupun total penjualan meningkat karena pertumbuhan lalu lintas pelanggan selama liburan Hari Buruh.
Beberapa kenaikan harga konsumen mungkin disebabkan oleh keputusan administratif daripada peningkatan dalam permintaan.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia
Beralih ke pekan depan, dari dalam negeri akan dirilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode April 2024. Konsensus pasar memperkirakan IKK Indonesia pada bulan lalu cenderung turun sedikit menjadi 123,1, dari sebelumnya di angka 123,8 pada Maret lalu.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Skor di atas 100 menandakan konsumen optimistis melihat situasi ekonomi.
Bahkan, menurut Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey, kepercayaan konsumen atau indeks penjualan riil masih di atas angka moderat.
"Keyakinan konsumen kami itu 125-126, di atas angka 100. Berarti konsumen masih percaya terhadap situasi ekonomi, sehingga mereka melakukan konsumsi. Kalau konsumen tidak memiliki kepercayaan konsumen, mereka tidak akan melakukan konsumsi," jelasnya.
Hal ini terjadi karena tumbuhnya konsumsi rumah tangga sebesar 54,93%. Sebelumnya, ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2024 naik menjadi 5,11% secara tahunan (year-on-year/yoy), berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Pertumbuhan ekonomi ini lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal IV-2023 dan kuartal I-2023 sebesar masing-masing 5,04%.
Sedangkan konsensus pasar yang dihimpunCNBC Indonesiadari 12 institusi. Konsensus memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,09%.
Adapun, pertumbuhan ekonomi Indonesia ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) seiring dengan momen Lebaran dan Pemilu 2024.
Dari data BPS, perekonomian Indonesia berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2024 mencapai Rp 5.288,3 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 Rp 3.112,9 triliun.
Penjualan Ritel Indonesia
Pada Selasa pekan depan, Indonesia juga akan merilis data penjualan ritel periode Maret 2024. Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan penjualan ritel RI pada Maret hanya tumbuh 2,1%, lebih rendah dari posisi Februari lalu yang tumbuh 6,4%.
Hal ini diprediksi karena momentum cenderung menurun, setelah beberapa bulan lalu tertopang karena periode panen dan beberapa sentimen positif lainnya.
Sebelumnya pada Februari lalu, Kinerja penjualan ritel tersebut didorong oleh pertumbuhan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau yang meningkat serta Kelompok Peralatan Informasi dan Komunikasi dan Kelompok Barang Budaya dan Rekreasi yang mengalami perbaikan meski masih dalam zona kontraksi.
Meski begitu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan ritel RI pada Maret akan tetap kuat. Hal ini tercermin dariIndeks Penjualan Riil (IPR) Maret 2024 yang tumbuh sebesar 3,5% (yoy) atau 222,8.
Inflasi AS
Pada pekan depan, AS juga akan merilis data inflasinya untuk periode April 2024. Pada Selasa pekan depan, AS akan merilis terlebih dahulu data inflasi produsen (PPI). Kemudian pada Rabu pekan depan, barulah data inflasi konsumen (CPI) dirilis.
Konsensus pasar Trading Economics memperkirakan PPI AS pada bulan lalu cenderung naik sedikit menjadi 2,2% secara tahunan (yoy) dan cenderung stabil di 0,2% secara bulanan (month-to-month/mtm).
Sementara untuk CPI, pasar memperkirakan CPI AS akan sedikit mendingin menjadi 3,4% (yoy) dan 0,3% (mtm). Adapun CPI inti juga diprediksi sedikit melandai menjadi 3,7% (yoy).
Jika inflasi benar-benar sedikit mendingin, maka ini memberikan sedikit harapan bahwa masih akan ada ruang pemangkasan suku bunga The Fed pada tahun ini.
Salah satu kesulitan yang dihadapi The Fed dalam menurunkan inflasi menuju sasarannya sebesar 2% terletak pada ketahanan konsumen Amerika.
Penjualan ritel pada Februari dan Maret meningkat dengan kuat, meskipun proyeksi para ekonom untuk April menunjukkan bahwa rumah tangga akan mengambil jeda. Angka-angka tersebut juga akan dirilis pada Rabu pekan depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)