Gawat, Utang Global Nyaris Tembus 100% PDB, Tertinggi dalam 210 Tahun!

Revo M, CNBC Indonesia
30 April 2024 10:15
Mata Uang Dolar, Peso, Euro (AP)
Foto: Mata Uang Dolar, Peso, Euro (AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang publik atau pemerintah global meningkat hingga 93% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pra-pandemi, bahkan tertinggi setelah Perang Napoleon sekitar 200 tahun lalu.

Pandemi Covid-19 pada 2020 membuat aktivitas ekonomi dunia lumpuh. Negara pun kemudian memilih menambah utang untuk mengongkosi anggaran karena penerimaan dari pajak dan sektor lainnya jatuh akibat ambruknya ekonomi. Pandemi baru mereda pada 2022 setelah melewati beberapa gelombang varian baru.

Pada saat itu, kebijakan-kebijakan diambil oleh pemerintah untuk bertahan dalam kondisi perekonomian yang sangat mencekam. Hal ini semakin diperparah karena terjadi perang Rusia-Ukraina pada awal 2022 yang berdampak pada supply komoditas hingga berujung inflasi yang melonjak tajam dan suku bunga yang turut merangkak naik.

International Monetary Fund (IMF) menilai prospek ekonomi dan keuangan global telah membaik dalam enam bulan terakhir. Inflasi telah turun, kondisi keuangan telah mereda, dan risiko terhadap prospek ekonomi telah seimbang.

Namun, banyak negara terus berjuang dengan utang publik dan defisit fiskal yang tinggi di tengah tantangan baru berupa tingginya suku bunga riil dan meredupnya prospek pertumbuhan jangka menengah.

 Untuk diketahui, utang publik global melonjak hingga 93% PDB pada 2023 dan 9 poin persentase di atas tingkat sebelum pandemi. Peningkatan ini dipimpin oleh dua negara dengan perekonomian terbesar, Amerika Serikat (AS) dan China, yang utangnya masing-masing meningkat lebih dari 2 dan 6 poin persentase terhadap PDB.

Bahkan hingga 2028, utang AS dan China diperkirakan terus mengalami peningkatan, masing-masing menjadi lebih dari 130% untuk AS dan lebih dari 100% PDB untuk China.

IMFFoto: Gross Debt & Primary Balance (percent of GDP)
Sumber: IMF & WEO database

Lonjakan Utang dan Dampak Bahaya ke Global

Peran AS dan China sangatlah penting karena dapat menentukan perkembangan dan prospek fiskal global. Melambatnya pertumbuhan di China dapat membebani pertumbuhan dan perdagangan global, sehingga menimbulkan tantangan fiskal bagi negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang kuat.

Imbal hasil obligasi pemerintah yang tinggi dan fluktuatif di AS akan menyebabkan kondisi pendanaan yang lebih ketat di negara-negara lain.

Menanggapi situasi yang kurang cukup kondisif, presiden World Economic Forum (WEF), Borge Brende memberikan pandangan yang jelas terhadap perekonomian global dengan mengatakan bahwa dunia akan menghadapi pertumbuhan yang rendah selama satu dekade jika langkah-langkah ekonomi yang tepat tidak diterapkan.

Dikutip dari CNBC International, Brende memperingatkan bahwa rasio utang global mendekati tingkat yang belum pernah terjadi sejak Perang Napoleon atau 1810-an dan terdapat risiko "stagflasi" di negara-negara maju.

Sebagai catatan, Perang Napoleon (1803-1815) adalah serangkaian konflik besar yang mengadu Kekaisaran Prancis dan sekutunya, yang dipimpin oleh Napoleon I yang mengguncang dunia pada 214 tahun terakhir atau dua abad. Perang tersebut adalah yang terbesar sebelum Perang Dunia I dan II dan membuat ekonomi dunia babak belur.

 

Proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi global 2024 sebesar 3,2%. Brende menegaskan hal ini pada dasarnya tidak buruk tetapi lebih rendah dari historisnya. Ia menambahkan biasanya tren pertumbuhan global sebesar 4% selama beberapa dekade sebelumnya.

Dengan pertambahan ekonomi yang lambat maka penambahan jumlah utang menjadi lebih mengkhawatirkan.

Jumlah utang yang hampir mendekati 100% PDB global ini sangat mengkhawatirkan karena hal ini belum pernah terlihat sejak Perang Napoleon. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk mengatasi situasi utang global dengan terus berdagang satu sama lain dan mengurangi perang dagang antar negara.

Lebih lanjut, pemerintah perlu mempertimbangkan cara mengurangi utang tersebut dan mengambil langkah-langkah fiskal yang tepat tanpa terjebak dalam situasi yang memicu resesi. Dia juga mengisyaratkan tekanan inflasi yang terus-menerus dan kecerdasan buatan generatif dapat menjadi peluang bagi negara berkembang.

Efek Pemilu 2024 Secara Global

Pada 2024, sekitar 88 negara atau lebih dari separuh populasi dunia, telah atau sedang menyelenggarakan pemilu nasional. 88 negara tersebut mewakili sekitar 4,2 miliar orang dan 55% PDB global.

Sejarah menunjukkan bahwa pemerintah cenderung membelanjakan lebih banyak dan mengurangi pajak selama tahun-tahun pemilu. Defisit pada tahun-tahun pemilu cenderung melebihi perkiraan sebesar 0,4 poin persentase terhadap PDB, dibandingkan dengan tahun-tahun non-pemilu. Pada tahun pemilu yang hebat ini, pemerintah harus melakukan pengendalian fiskal untuk menjaga keuangan publik tetap sehat.

Kondisi ini membuat utang pemerintah di banyak negara semakin menggunung.


Pemerintah harus segera menghapuskan kebijakan fiskal masa krisis, termasuk subsidi energi, dan melakukan reformasi untuk membatasi peningkatan belanja sekaligus melindungi kelompok yang paling rentan.

Negara-negara maju dengan populasi menua harus mengendalikan tekanan belanja untuk kesehatan dan dana pensiun melalui reformasi hak dan langkah-langkah lainnya.

IMF juga merekomendasikan agar negara-negara berkembang dapat memperluas basis pajak, memperbaiki desain sistem perpajakan mereka, dan memperkuat administrasi pendapatan.

Dalam kajiannya, IMF menyebutkan langkah-langkah tersebut jika terjadi dalam keadaan ideal maka akan mampu menghasilkan tambahan 9% PDB.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation