
Diam-Diam Puluhan Emiten Ini Tersenyum Saat Rupiah Ambruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah makin anjlok dan menembus level psikologis Rp16.200/US$. Rupiah jatuh terhadap dolar Amerika Serikat (AS) setelah Israel melakukan serangan balik terhadap Iran.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah terpuruk 0.65% ke level Rp16.275/US$ pada pukul 11:01 WIB hari ini (19/4/2024).
Posisi rupiah saat ini merupakan yang terlemah sejak 6 April 2020 atau sekitar empat tahun terakhir sejak pandemi Covid-19 terjadi di awal 2020.
Kabar serangan Israel ke Iran pada Jumat pagi (19/4/2024) menjadi salah satu pemicu kejatuhan rupiah.
Seperti diketahui, Israel meluncurkan rudal sebagai serangan balasan terhadap Iran hari ini. Hal itu diungkap pejabat senior AS kepada ABC News.
Peluncuran rudal tersebut menyusul serangan Iran pada Sabtu lalu, di mana negara tersebut mengirimkan lebih dari 300 drone dan rudal tanpa awak ke sasaran di seluruh negeri.
Kejatuhan rupiah tentu akan berdampak terhadap beberapa perusahaan yang ada di Indonesia. Dampak tersebut ada yang membawa dampak negatif maupun positif terutama pada perusahaan yang melakukan ekspor dan impor.
Perusahaan yang melakukan ekspor tentu akan diuntungkan dari melemahnya rupiah dari selisih kurs yang didapatkan.
Berikut beberapa saham yang diuntungkan karena gencar melakukan ekspor.
Saham-saham berbasis komoditas seperti pertambangan dan sawit juga banyak diuntungkan jika rupiah menguat karena mereka menggunakan bahan mentah lokal tetapi diekspor sehingga pendapatannya dalam bentuk dolar AS. Di antaranya adalah PT Adaro Energy Indonesia (ADRO), PT Bayan Resources (BYAN), dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
Selain emiten-emiten yang diuntungkan, terdapat pula emiten yang dirugikan atas kejatuhan dolar. Bukan hanya dari transaksi impor, tetapi juga dari kepemilikan hutang dalam bentuk dolar AS. Semakin meningkatnya dolar AS, tentu hal tersebut dapat mendorong tingginya beban Perseroan dalam membayar hutang dalam satuan dolar AS.
Berikut daftar saham-saham yang bunting saat rupiah anjlok.
CNBC Indonesia Research
