
Melawan Sejarah, IHSG Ambruk Pasca Lebaran

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia langsung ambruk begitu pasar dibuka hari ini, Selasa (16/4/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 1,68% hari ini atau menjadi yang terburuk dalam dua tahun bila dilihat dari historis pasar dibuka pasca libur Lebaran.
Merujuk data Refinitiv, IHSG hari ini ditutup di posisi 7164,81, melemah 1,68%. IHSG bahkan langsung dibuka melemah 2,15% ke posisi 7.130,27. Selang satu menit, IHSG makin ambruk 2,68% ke 7.095,688.
Pelemahan IHSG hari ini berbanding terbalik dengan tahun-tahun sebelumnya. Secara historis, IHSG sebenarnya sering menguat pada hari pertama perdagangan pasca Lebaran.
Pada periode 2014-2022 atau 10 tahun terakhir, IHSG ditutup di zona hijau sebanyak enam kali pasca Lebaran dan hanya empat kali melemah. Pelemahan terjadi pasca Lebaran 2018, 2021, 2022, dan 2023.
Pada periode pra-pandemi, ada kecenderungan IHSG ditutup menghijau setelah Lebaran. Namun, nasib buruk IHSG justru terjadi pasca pandemi. Dalam dua tahun IHSG selalu melemah setelah libur panjang Lebaran.
Pada 2021, IHSG langsung ambruk 1,76% pasca libur Lebaran sementara pada 2022 anjlok 4,42%.
IHSG ambruk pada 2021 setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) siap ambil ancang-ancang untuk hawkish.
IHSG juga tumbang karena lonjakan kasus Covid-19. Bayangkan saja lebih dari 1,5 juta orang tercatat mudik. Dari random sampling kepolisian, sebanyak 60% pemudik teridentifikasi Covid-19. Bagi pasar kenaikan kasus infeksi Covid-19 menunjukkan adanya risiko.
Kekhawatiran tersebut terbukti karena setelah Lebaran, kasus Covid-19 meledak dan menjadi periode paling berdarah-darah.
Masuknya varian Delta, belum adanya vaksinasi masal, serta penyebaran selama Lebaran membuat kasus harian Covid melonjak dari 5.000an per hari menjadi 30.000an ribu pada Juni 2021.
Pada 2022, IHSG juga langsung ambruk pada hari pertama setelah libur Lebaran.
Berbagai sentimen eksternal telah menghiasi perdagangan selama seminggu selama libur Lebaran 2022. Di antaranya perkembangan perang Rusia-Ukraina yang diwarnai dengan embargo minyak oleh Uni Eropa.
Kemudian juga dilanjutkan dengan pengetatan moneter oleh bank sentral AS The Fed maupun Inggris Bank of England (BoE) dalam rangka untuk menjinakkan inflasi yang sudah mencapai level tertinggi dalam puluhan tahun.
The Fed menaikkan kebijakan 50 bps pada awal Mei 2022 atau pada saat pasar Indonesia masih libur.
Sementara itu, IHSG ambruk pasca libur Lebaran 2024 setelah mendapat tekanan bertubi-tubi dari eksternal mulai dari kenaikan inflasi AS hingga serangan drone Iran ke Israel.
Seperti diketahui, serangan drone pada Sabtu yang merupakan serangan langsung pertamanya terhadap wilayah Tel Aviv. Ini berisiko meningkatkan eskalasi regional karena Amerika Serikat (AS) berjanji memberikan dukungan "kuat" kepada Israel.
Serangan Iran terjadi ketika proksi Teheran di Irak, Lebanon, Suriah dan Yaman melancarkan serangkaian serangan terhadap sasaran-sasaran Israel dan Barat sejak tanggal 7 Oktober, ketika Hamas yang didukung Iran melancarkan serangan teror yang menghancurkan di Israel selatan, sehingga memicu serangan membabi buta Tel Aviv ke Gaza, Palestina.
Inflasi AS di luar dugaan menanjak hingga 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024 dari 3,2% pada Februari. Sejumlah data AS juga menunjukkan ekonomi AS masih panas.
Data tenaga kerja AS juga menunjukkan adanya penambahan 303.000 pada non-farm payrolls, lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar di angka 200.000.
Terbaru,data penjualan ritel AS untuk bulan Maret melampaui ekspektasi para analis, yang merupakan bukti terbaru mengenai ketahanan konsumen Amerika.
Departemen Perdagangan melaporkan pada Senin (15/4/2024), penjualan ritel meningkat 0,7% pada periode Maret 2024, jauh lebih cepat dari perkiraan konsensus Dow Jones yang memperkirakan kenaikan 0,3%.
Kondisi ini membuat pasar semakin pesimis terhadap pemangkasan suku bunga The Fed.
Perangkah CME Fedwatch Tool menunjukkan pelaku pasar kini hanya bertaruh 20,5% jika The Fed akan memangkas suku bunga di Juni. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pada dua pekan lalu yang mencapai 60-70%.
CNBC Indonesia Research
(mae/mae)