Kripto Cs Patut Waspada! Indeks Dolar Perkasa Efek Inflasi AS Panas

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
11 April 2024 18:25
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Imbas dari inflasi Amerika Serikat (AS) yang masih panas, indeks dolar AS (DXY) melambung ke level 105. Hal ini patut diantisipasi karena rawan memicu aset lain, seperti saham, crypto, hingga nilai tukar bergerak volatile.

Sebagaimana diketahui pada kemarin, Rabu Malam (10/4/2024), inflasi AS periode Maret 2024 dilaporkan menyentuh level 3,5% secara tahunan (yoy), lebih tinggi dari prediksi pasar yang proyeksi bisa melandai ke 3,4% yoy.

Begitu pula dengan inflasi inti tumbuh lebih panas dari konsensus yang berharap melandai ke 3,7% yoy. Namun, realitanya menyentuh 3,8% yoy pada Maret 2024, sama seperti bulan sebelumnya.

Setelah rilis data inflasi AS kemarin malam probabilitas pemangkasan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) di bulan Juni menyusut jauh menjadi 16,4% saja. Artinya, tren suku bunga tinggi masih akan berlanjut dan potensi the Fed menurunkan suku bunga bisa lebih lama lagi.

Imbas-nya, indeks dolar AS (DXY) melambung ke atas level 105. CNBC Indonesia memantau hingga Kamis (11/4/2024) pukul 18.00 WIB sudah naik lagi 0,08% menjadi 105,27. Sebelumnya, pada kemarin DXY melonjak lebih dari 1% dengan angka penutupan di 105,19.

Dolar AS yang tetap perkasa ini patut diwaspadai lantaran masih bisa menekan mata uang negara lain, termasuk emerging market seperti Indonesia, kendati market saat ini sedang libur dalam rangka perayaan Idul Fitri.

Sebagai catatan, nilai tukar rupiah hingga penutupan perdagangan Jumat (5/4/2024) bertengger di Rp15.840/US$. Dalam sepekan sebelum libur panjang gerak mata uang Garuda terbilang sangat volatile.

Pada tiga hari pertama sejak awal pekan rupiah melemah signifikan hingga menembus level Rp15.900/US$, sempat menyentuh posisi terpuruknya sejak empat tahun lalu.

Kemudian, rupiah kembali bangkit dalam dua hari berikutnya yang membuat gerak dalam seminggu terakhir mengalami apresiasi tipis 0,06%. Salah satu faktor penguatan-nya, adalah berkat intervensi Bank Indonesia (BI) menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah.
Namun, jika beralih ke saat ini, risiko rupiah terdepresiasi lagi masih bisa berlanjut, paling tidak menguji level psikologis di Rp16.000/US$, mengingat risiko eksternal kembali mencuat dari perkasa-nya dolar AS akibat inflasi AS masih panas.

Selain data inflasi, pasar sepertinya juga merespon kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih ketat. Hal ini tercermin dari data pekerjaan tercatat atau Non Farm Payrolls (NFP) pada Maret 2024 tidak terduga naik ke 303.000 pekerjaan. Capaian ini berbanding terbalik dengan konsensus pasar yang memperkirakan melandai ke 200.000 dari 270.000 pekerjaan.

Berbicara dampak lanjutan ke rupiah yang potensi lanjut melemah, ini juga bisa menjadi sinyal ke pasar keuangan lain bakal bergerak lebih volatile seperti pasar saham, hingga obligasi. Oleh karena itu, ketika pasar buka di pekan depan nanti, kita patut mewaspadai risiko sell off masih bisa terjadi di pasar.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation