
Analisa 7 Ekonom Soal Rupiah Ambruk Digoyang AS & Sengketa Pilpres

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang Asia mengalami penurunan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (22/3/2024). Sementara pada Senin (25/3/2024), mata uang Asia cenderung menguat.
Dilansir dari Refinitiv, pada 22 Maret 2024, rupiah menjadi mata uang Asia yang ambruk paling parah yakni sebesar 0,77% terhadap dolar AS. Depresiasi mata uang Asia juga diikuti oleh won Korea Selatan yang anjlok 0,7%, rupee India yang turun 0,49%, hingga peso Filipina yang melemah 0,48%.
Hanya yen Jepang yang mengalami apresiasi tipis sebesar 0,13% pada periode yang sama.
Di saat yang bersamaan, indeks dolar AS (DXY) melonjak 0,57% ke level 104.
Sedangkan pada 25 Maret 2024, DXY masih mengalami kenaikan 0,45% dan rupiah melemah sebesar 0,13%.
Namun yang berbeda yakni mata uang Asia lainnya justru mengalami kenaikan terhadap dolar AS.
Won Korea Selatan menguat 0,34%, yuan China naik 0,26%, hingga ringgit Malaysia mengalami apresiasi 0,25%.
Sekitar pukul 11:50 WIB hari ini, rupiah tercatat sempat menyentuh Rp15.800/US$. Oleh karena itu, beberapa ekonom dan analis memberikan pendapat mengenai pelemahan rupiah yang secara umum terjadi ditengarai akibat faktor eksternal khususnya yang datang dari AS.
Satria Sambijantoro, Bahana Sekuritas
Dari faktor domestik, jelang musim pembagian dividen dan pembayaran utang luar negeri menjadi alasan lemahnya nilai tukar rupiah. Selain itu, ketidakpastian mengenai prospek politik menyebabkan beberapa perusahaan memilih untuk memulangkan pendapatan mereka daripada menginvestasikannya kembali di dalam negeri.
Sementara dari faktor eksternal, ekonomi AS dipandang lebih kuat dibandingkan negara-negara G7 dengan skenario "tidak ada pendaratan" yang kemungkinan akan terwujud lagi pada tahun 2024.
Andry Asmoro, Bank Mandiri
Depresiasi rupiah terjadi akibat faktor global terutama penguatan ekonomi AS yang mengkhawatirkan investor bahwa inflasi akan sulit turun dan akhirnya suku bunga akan lebih lama lagi diturunkan. DXY saat ini juga sedang naik ke 104. Akibatnya capital outflows dari Emerging Markets (Ems) ke safe haven dan akibatnya currency EMs melemah diikuti dengan bond yield naik.
Rully Wisnubroto, Mirae Asset Sekuritas Indonesia
Tekanan terhadap rupiah didominasi akibat faktor global khususnya penguatan DXY terhadap mata uang lainnya.
Rully menilai sepanjang semester I-2024, volatilitas masih akan tetap tinggi didukung oleh penantian perkembangan data ekonomi AS, khususnya terkait dengan inflasi dan ketenagakerjaan.
Sedangkan sentimen internal termasuk gugatan ke MK bukan menjadi penyebab utama pelemahan rupiah.
Dari dalam negeri, pelaku pasar cenderung khawatir dari sisi external balance yang akan melemah, surplus neraca perdagangan menurun, hingga menyebabkan defisit current account yang melebar.
Ahmad Mikail, Sucor Sekuritas
Ahmad melihat pelemahan rupiah ini terjadi karena dua alasan, yakni trade surplus yang mengecil yakni hanya sebesar US$0,87 miliar, turun dibandingkan surplus Januari US$2,02 miliar.
Sebagai catatan, surplus ini dipicu oleh penurunan ekspor pada Februari 2024. Nilai ekspor Februari 2024 sebesar US$19,31 miliar atau turun 9,45% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Surplus neraca perdagangan Indonesia Februari 2024 terutama berasal dari sektor nonmigas US$2,63 miliar yakni bahan bakar mineral lemak dan minyak hewan nabati dan besi baja, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$1,76 miliar, dengan penyumbang defisit berasal dari hasil minyak dan minyak mentah.
Selain itu, Ahmad juga mengatakan uncertainty policy pemerintah baru pun menjadi salah satu pengaruh rupiah menjadi cukup volatil belakangan ini.
Lazuardin & Barra, Bank Central Asia
Lazuardin & Barra dalam laporannya The Focal Point: A stronger Dollar amid a spring of policy doves mengatakan bahwa proyeksi bank sentral AS (The Fed) untuk menurunkan suku bunganya sebesar 75 basis poin (bps).
Pasar menilai situasi ekonomi AS saat ini masih cukup kuat di tengah kenaikan harga minyak yang dapat berdampat pada inflasi yang semakin sulit diturunkan ke level 2% sesuai target The Fed.
Myrdal Gunarto, Maybank Indonesia
Myrdal menilai faktor global menjadi alasan utama dibalik penurunan rupiah.
Salah satunya yakni timing The Fed perihal pemangkasan suku bunga yang semakin penuh dengan ketidakpastian.
Di lain sisi, permintaan impor yang tinggi dari dalam negeri khususnya untuk pemenuhan kebutuhan lebaran yakni impor pangan maupun impor BBM juga menjadi penyebab rupiah terdepresiasi.
Terakhir, Myrdal mengatakan bahwa musim pembagian dividen menjadi faktor rupiah kian melemah karena perusahaan akan membayarkan dividen dalam waktu dekat.
Fithra Faisal, Samuel Sekuritas
Pelemahan rupiah ditengarai terjadi akibat faktor global maupun faktor domestik.
Dari global, pernyataan The Fed yang cenderung mengarah ke dovish dinilai pasar masih belum cukup jelas. Uncertainty masih ada di tengah inflasi yang cukup stubborn.
Selain itu, geopolitik yang datang dari Eropa timur masih relatif bergejolak. Terkhusus serangan dari aksi terorisme terhadap Rusia memicu sentimen negatif bagi global.
Sementara dari dalam negeri, neraca dagang hanya surplus US$0,87 miliar yang jauh di bawah ekspektasi pasar ini berdampak negatif bagi perspektif pelaku pasar. Lebih lanjut, transaksi berjalan Indonesia pada 2025 pun diprediksi akan melebar sehingga menambah defisit bagi Indonesia.
Fithra merekomendasikan agar pemerintah dapat memberikan penjelasan secara clear oleh Kementerian Keuangan perihal prospek anggaran ke depan khususnya 2025 sehingga pelaku pasar dapat menerka-nerka langkah yang harus diambil.
Sedangkan bagi Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral, perlunya untuk melakukan intervensi jangka pendek agar mata uang Garuda tidak mengalami depresiasi yang signifikan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)