
PDIP Berkoalisi dengan Kubu Prabowo, Mungkinkah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil perhitungan sementara (real count) pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2024 menunjukkan adanya persaingan ketat antara dua partai besar yang berasal dari koalisi yang berbeda. Fenomena ini menimbulkan asumsi bahwa akan terdapat dua kemungkinan antara berkoalisinya dua kekuatan besar tersebut atau malah menimbulkan adanya oposisi.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD menduduki posisi pertama, sedangkan Partai Golongan Karya (Golkar) yang tergabung dalam koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menduduki posisi kedua. Sebagai informasi, hasil real count sementara menunjukkan Prabowo-Gibran sebagai pasangan terkuat dengan perolehan suara sementara sekitar 58%.
Sementara itu, hasil pemilihan umum legislatif menunjukkan koalisi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul sekitar 43% di parlemen. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga Selasa (5/3/2024) pukul 17:00 WIB, empat dari delapan koalisi Prabowo-Gibran masuk parlemen yakni Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Parta Demokrat.
Empat partai lainnya masih di bawah parliamentary threshold 4% yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), dan Partai Garda Republik Indonesia (Garuda).
Agung Baskoro, Direktur Eksekutif lembaga survei Trias Politika Strategis, peluang koalisi PDIP dan kubu Prabowo termasuk kubu Golkar meski sulit karena melibatkan dua nama besar di kedua kubu tersebut. Di kubu PDIP ada Megawati Soekarnoputri sementara di kubu Prabowo ada Joko Widodo (Jokowi).
"Secara institusional, peluang PDIP dan Golkar berkoalisi mungkin saja mengemuka. Hanya saja mengecil karena tergantung komunikasi politik antara Presiden Jokowi dengan Ibu Megawati," ujar Agung Baskoro kepada CNBC Indonesia Research.
Dia menambahkan secara historis, sikap Megawati lebih mengarah kepada oposisi jika menang dalam pemilihan presiden, seperti pada 2004 dan 2009. Selama 10 tahun tersebut, PDIP menjadi oposisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, Agung menjelaskan semua kemungkinan masih terbuka. Terlebih, semua partai kini masih bekerja sama dalam kabinet di bawah Jokowi.
"Semua masih mungkin. Kalau melihat karakter ibu Mega selama ini, ibu Mega bergerak di oposisi. Perlu juga ada penyeimbang untuk pemerintah," imbuh Agung.
Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, mengatakan melihat karakter Megawati, kemungkinan besar PDIP akan menjadi oposisi.
"Entahlah itu sulit dilihat tapi kalau melihat kecenderungan politik PDIP biasanya kalau dia kalah maka dia kan oposisi," tutur Adi kepada CNBC beberapa waktu llau.
Dia menambahkan salah satu faktor yang membuat PDIP berat ke kubu Prabowo adalah kehadiran Gibran.
"Apalagi wapresnya Gibran yang merupakan representasi Jokowi. Saya membayangkan sulit bagi PDIP untuk berkoalisi. Dengan Prabowo gak ada soal tapi (masalah) dengan Gibran," imbuhnya.
Hingga kini masih belum terdapat kepastian terkait sikap PDIP mengingat masih berlangsungnya proses rekapitulasi suara.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Arif Susanto selaku Researcher Exposit Strategic yang memandang bahwa akan sulit memperkirakan apakah koalisi akan terbentuk mengingat perhitungan suara belum ditetapkan. "Segala kemungkinan masih bisa terjadi, sebab variabel yang kita bicarakan di sini masih terlalu banyak. Perkiraan akan lebih akurat, pasca rekapitulasi suara atau 24 Maret nanti," kata Arif saat dihubungi tim Riset CNBC Indonesia.
Arif menambahkan bahwa PDIP dan Golkar akan berkoalisi sangat memungkinkan, sebab politik Indonesia yang cair memungkinkan peluang terbuka. Selain itu, Adi Prayitno sebagai Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik memandang bahwa kedua partai ini tidak memiliki jarak psikologis tertentu setelah periode Orde Baru.
Di sisi lain, ketiga pengamat politik ini memiliki satu pandangan yang sama yaitu PDIP akan lebih kukuh menjadi oposisi dengan pertimbangan jika keterlibatan Jokowi di dalam pemerintahan yang masih cukup kuat.
Arif juga menyatakan bahwa ketidakpastian ini juga perlu menimbang beberapa variabel yang masih belum terdapat kepastian jawaban akibat beberapa faktor, seperti terkait hak angket, kemungkinan adanya perubahan UU MD3, strategi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan PDIP yang berpotensi memiliki suara terbanyak sehingga akan sulit berkoalisi. Berbagai isu ini yang menjadi landasan perkiraan PDIP berkoalisi sulit diprediksi.
Sebagai catatan, Megawati pernah berpasangan dengan Prabowo sebagai cawapresnya dalam pilpres 2009 tetapi kalah dari SBY-Boediono.
PDIP dan Gerindra juga pernah menjadi koalisi solid pada 2009-2014. Salah satu kekuatan oposisi keduanya ditunjukkan saat menentang rencana kenaikan harga BBM subsidi pada 2012.
Melalui pertempuran yang sengit di DPR, pemerintah akhirnya mengurungkan rencana menaikkan harga BBM. Pada sidang paripurna DPR saat pengambilan keputusan, anggota Fraksi PDI-P memilih walk out di tengah sidang.
PDIP mampu menjadi partai pemenang pemilu pada 2014 dan 2019 dan mampu mengantar Jokowi menang pilpres selama dua periode. Namun, menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi malah menunjukkan keberpihakannya pada Menteri Pertahanannya, Prabowo Subianto yang menunjuk putra sulung Presiden sebagai wakilnya yaitu Gibran Rakabuming Raka.
Sikap politik tersebut menunjukkan bahwa PDIP berpisah jalan dengan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2024. PDIP kemudian memberikan sinyal partainya akan menjadi oposisi. Meski demikian, masih belum terdapat kepastian terkait sikap PDIP mengingat masih berlangsungnya proses rekapitulasi suara.Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa PDIP belum menentukan sikap secara pasti. "Jadi, di dalam konstitusi kita, kita bukan sistem parlementer, tidak ada istilah oposisi," kata Hasto.
Dari pengalaman PDI Perjuangan 2004-2009, posisi saat itu 2004-2009 adalah berada di luar pemerintah. Ini adalah sistem pemerintahan yang kita bangun," kata Hasto kepada wartawan saat ditemui di Gedung High End, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).
PDIP telah menjadi oposisi selama 10 tahun, tepatnya sepanjang 2004-2014. Dalam dua periode pemerintahan tersebut, lembaga eksekutif dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari partai Demokrat.
Pada Pemilu 2004, PDI-P mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden yang harus menelan kekalahan pada periode tersebut. Meski demikian, PDI-P mampu memperoleh suara yang cukup besar di peringkat ke-2 mencapai 19,82%.
Demikian pula pada Pemilu 2009, SBY kembali memenangkan Pilpres dan melanjutkan periode keduanya. PDI-P kali ini hanya mampu memperoleh 16,79% suara di bawah Demokrat yang mencapai 26,42%. Meski demikian, PDI-P tetap konsisten menjadi oposisi dari pemerintahan SBY.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)