
Jatuh Bangun PPP: Lahir di Era Orde Baru, Limbung di Era Reformasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berada di ujung tanduk pada Pemilu 2024. Dalam beberapa hari terakhir hasil real count KPU menunjukkan PPP mandeg dan bahkan sempat turun di bawah 4% yang merupakan ambang batas untuk lolos ke parlemen atau parliamentary threshold.
Berdasarkan data real count pada Senin (4/3/2024) hingga pukul 13.00 WIB, PPP mengumpulkan suara 3.082.654 atau 4,01%. Pada Jumat (1/3/2024) PPP terancam bahkan gagal lolos ke Senayan karena real count menunjukkan persentase 3,97%.
Nasib seperti ini menjadi ancaman tersendiri bagi partai berlambang Ka'bah tersebut. Sebab, jika disandingkan dengan partai-partai lain, PPP sudah jauh lebih lama berkecimpung di dunia politik Indonesia. Tentu jika gagal lolos ambang batas parlemen, bakal jadi catatan buruk bagi PPP.
Perlu diketahui, PPP merupakan partai yang dibentuk di masa Orde Baru sebagai bagian kebijakan fusi partai. Fusi partai adalah ide Presiden Soeharto untuk merampingkan partai-partai yang punya satu ideologis serupa.
Sejak berkuasa, Presiden Soeharto memang tak ingin ada banyak partai di Indonesia. Dia belajar dari era demokrasi terpimpin masa Soekarno saat keberadaan banyak partai terbukti tidak efektif. Saat itu, partai-partai yang ada malah saling menjatuhkan satu sama lain, sehingga stabilitas politik terganggu dan kebijakan negara tak terwujud.
Alhasil, Soeharto ogah masalah itu terjadi saat dia berkuasa. Maka, lahirlah ide fusi atau penyederhanaan partai.
Namun, ide tersebut tak langsung terwujud saat Soeharto berkuasa. Pada Pemilu pertama Orde Baru tahun 1971, semua partai apapun ideologinya masih bertanding. KPU pun menetapkan organisasi masyarakat, Golongan Karya (Golkar), memenangi Pemilu.
Dalam perspektif pemerintah, kemenangan Golkar bukan berarti situasi bakal aman. Pasalnya, menurut Andre Feillard dalam NU vis a vis Negara (1999), di Senayan bakal ada banyak partai lain yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan.
Atas dasar ini, pemerintah melakukan intervensi kepada partai-partai, termasuk partai Islam yang eksis sejak masa Soekarno dan mewakili kelompok Islam, antara lain:
- Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), mewakili Masyumi.
- Partai Nahdlatul Ulama.
- Partai Pergerakan Tarbiah Islam (Perti).
- Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Intervensi tersebut berupa ikut campur pemerintah mengatur sosok ketua umum partai dalam pemilihan terbuka. Pemerintah menempatkan orang kepercayaan untuk mensukseskan langkah fusi partai.
Singkat cerita, hasil dari intervensi itu sukses menggabungkan partai-partai Islam tersebut menjadi satu wadah bernama Kelompok Persatuan Pembangunan pada Oktober 1972. Penamaan ini juga diatur oleh Soeharto yang tak ingin kelompok partai Islam menggunakan nama "Islamis."
Kelompok Persatuan Pembangunan itulah yang kelak berubah jadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Selama Orde Baru berkuasa, PPP menjadi pilihan politik para tokoh Islam dan pendukungnya.
Selain PPP, kelompok lain yang terdampak fusi adalah golongan partai nasionalis, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) serta Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Mereka bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Beranjak dari sini, PDI, PPP dan Golongan Karya saling berebut suara di tiap pemilu Orde Baru. Tentu, kita mengetahui selama berulangkali Pemilu terselenggara, tetap saja pemenangnya Golkar, disusul PPP dan PDI.
Di era reformasi, suara PPP juga harus berjuang dengan sengit karena ketatnya persaingan antar partai. Suara PPP terus turun dari 11,33 juta pada pemilu 1999 atau 10,71% menjadi 6,32 juta pada pemilu 2019 atau 4,52%.
Banyaknya partai baru serta pergeseran ideologi dan tren elektoral membuat suara PPP turun.