Macro Insight

Lapor Pak Jokowi! RI Langsung Dapat 2 Kabar Buruk Hari Ini

Revo M, CNBC Indonesia
22 February 2024 18:20
Infografis, Prestasi Jokowi
Foto: Infografis/ Prestasi Jokowi/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, CNBC Indonensia - Data transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) telah dirilis Bank Indonesia (BI) hari ini (22/2/2024). Di tengah kabar positif mengenai derasnya aliran dana asing melalui portofolio, ada dua kabar negatif dari NPI dan transaksi berjalan.

NPI tercatat mengalami surplus US$8,6 miliar pada kuartal IV-2023 dan surplus sebesar US$6,3 miliar sepanjang 2023. Bila dirupiahkan dengan kurs per Kamis (22/2/2024) yakni Rp 15.585/US$1 maka angkanya mencapai Rp 134,03 triliun untuk kuartal IV dan Rp 98,19 triliun.

Surplus NPI ini ditopang oleh kuatnya kinerja transaksi modal dan finansial, terutama karena asing sudah mulai masuk kembali ke investasi portofolio.

Sebaliknya, transaksi berjalan Indonesia tercatat mengalami defisit sebesar US$1,3 miliar (0,38% dari Produk Domestik Bruto/PDB) pada kuartal IV-2023, meningkat dibandingkan dengan defisit US$ 1,0 miliar (0,3% dari PDB) pada kuartal III-2023. 

Transaksi berjalan Indonesia jika dilihat secara setahun penuh, maka 2023 mengalami defisit US$1,6 miliar (0,1% dari PDB). Ini adalah kali pertama transaksi berjalan mengalami defisit sejak 2020 atau dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini juga berbanding terbalik jika dibandingkan akhir 2022, ketika transaksi berjalan RI mencatat surplus US$13,2 miliar.

Defisitnya transaksi berjalan menjadi sinyal akan pemburukan pada dua hal yakni melemahnya ekspor serta melebarnya defisit pendapatan primer.

Ekspor Jatuh, Transaksi Berjalan Melebar
Transaksi berjalan melebar karena dua hal yakni melandainya ekspor barang serta melonjaknya pendapatan primer. Ekspor secara keseluruhan turun drastis menjadi hanya US$259,5 miliar pada 2023, dibandingkan US$ 292,538 miliar pada 2022.

Alhasil, transaksi berjalan barang tercatat sebesar US$46,35 miliar atau turun 26% jika dibandingkan 2022 yang menembus US$ 62,67 miliar.

Pelemahan ekspor ini sejalan dengan melandainya harga komoditas dan melambatnya perekonomian mitra dagang, mulai dari China hingga Jepang.
Turunnya ekspor inilah yang mesti diwaspadai pemerintahan Joko Widodo (Jkowi) ke depan. Dengan harga komoditas yang terus melandai maka ekspor bisa terus jatuh sehingga transaksi berjalan bisa terus mencatat defisit.

Berdasarkan catatan Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada Januari 2024 di angka US$ 124,97 per ton. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Desember 2023 tercatat US$ 141,8 per ton. Harganya juga jauh lebih rendah dibandingkan Januari 2023 (US$ 320,88 per ton).

Sementara itu, rata-rata harga CPO tercatat MYR 3.828,46 per ton. Harganya lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga CPO pada Desember 2023 yang tercatat MYR 3.745,8 per ton. Namun, harganya jauh lebih rendah dibandingkan Januari 2023 yakni MYR 3.939 per ton.

Sawit dan batu bara menyumbang ekspor sekitar 30% dari total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan ekspor.

Selain harga komoditas, pelemahan permintaan mitra dagang juga bisa mengancam transaksi berjalan. Ekonomi China terus menimbulkan kekhawatiran setelah Tiongkok mencatat deflasi dalam empat bulan beruntun.

Ekspor China juga terkoreksi sebesar 4,6% pada 2023. Ini adalah kali pertama Tiongkok mencatat koreksi ekspor dalam tujuh tahun terakhir.

Impor terkontraksi 5,5% pada 2023. Terkoreksinya impor menandai permintaan dalam negeri China yang tengah melemah, termasuk permintaan dari dalam negeri.

Dua Sisi Mata Uang Investasi Asing

Melonjaknya pendapatan primer juga menjadi salah satu alasan mengapa transaksi berjalan kembali defisit pada tahun lalu. Pendapatan primer tercatat defisit dengan jumlah yang tinggi, sejalan dengan peningkatan pembayaran bunga dan dividen untuk investor asing.

Defisit tersebut sebesar US$9,1 miliar pada kuartal IV-2023 atau sepanjang 2023 sebesar US$35,36 miliar. Defisit naik dibandingkan 2022 yang tercatat US$35,3 miliar serta melonjak dibandingkan pada 2021 yang hanya US$ 31,96 miliar. 


Untuk diketahui, pendapatan primer merupakan hasil yang dibayarkan suatu negara (dalam hal ini Indonesia) dalam bentuk dividen atau lainnya kepada negara yang telah berinvestasi di Indonesia dengan menyediakan faktor produksi tenaga kerja dan modal finansial.

Posisi defisit pendapatan primer Indonesia yang besar ini mengindikasikan bahwa investor asing cenderung untuk tidak melakukan investasi kembali setelah mendapatkan dividen maupun kupon dari hasil investasinya di Indonesia.

Angka tersebut juga menunjukkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia terhadap investor asing dalam mendongkrak investasi.

Di satu sisi, investasi asing langsung bisa menggerakkan pertumbuhan sekaligus menciptakan lapangan kerja.  Sementara itu, investasi portofolio bisa membantu menguatkan rupiah.

Namun, kenaikan investasi juga akan dibarengi besarnya pembayaran dividen serta imbal hasil investasi portofolio dari saham hingga obligasi.

Investasi asing dalam neraca finansial mengalami surplus yang cukup tinggi yakni US$8,7 miliar. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak 2021 diikuti dengan bertumbuhnya investasi portofolio yang mengalami surplus US$2,3 miliar.

Sebagai catatan, investasi portofolio merekam transaksi investasi di saham dan obligasi.

Berdasarkan data BI, sejak awal 2023 hingga data setelmen 28 Desember, investor asing tercatat beli neto Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp80,45 triliun sementara di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) melakukan beli neto sebesar Rp52,81 triliun.

Produk instrumen investasi BI pun semakin giat digulirkan dan mampu menarik investor asing untuk berinvestasi.

Hal ini tercatat dari total instrumen pro-market yang mulai diterbitkan di paruh kedua 2023 yakni SRBI, Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) untuk gantikan reverse repo yang tidak dapat diperdagangkan di pasar uang dan valas.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation