Fundamental Pundit

Prospek INDF di Tengah Rupiah, Bisnis Tepung & CPO yang Lesu

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
13 February 2024 10:45
Penjualan mie instan di warkop kawasan Radio Dalam, Jakarta, Rabu (10/8/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Penjualan mi instan di warkop kawasan Radio Dalam, Jakarta, Rabu (10/8/2022).

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) masih belum kemana-mana, kontras dengan saham anak usahanya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang sudah duluan melaju. Lantas alasan apa yang menahan gerak saham INDF?

Rupiah Melemah, Ongkos Pinjaman Melonjak

Sebagaimana kita tahu, nilai tukar rupiah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun ini sudah anjlok dan sempat menguji di atas level Rp15.800/US$.

Kendati kini sudah ada tanda menguat, tetapi terhitung secara year-to-date (YTD) hingga Senin (12/2/2024) rupiah masih terkoreksi 1,40% ke posisi Rp15.610/US$.

Pelemahan rupiah sangat berhubungan dengan kesehatan posisi keuangan INDF. Pasalnya, liabilitas perusahaan holding yang menaungi mie instan Indomie ini memiliki porsi utang dalam dolar AS cukup besar.

Hingga akhir September 2023, porsi obligasi berdenominasi dolar AS mencapai Rp42,42 triliun. Jumlah ini setara dengan 47,43% dari total utang INDF pada periode yang sama sebesar Rp89,42 triliun.

Namun, perlu dipahami bahwa obligasi berdenominasi dolar AS tersebut merupakan utang jangka panjang, paling cepat jatuh tempo pada 2031 atau sekitar tujuh tahun mendatang, dengan rincian sebagai berikut :

Jadi, tekanan pelemahan rupiah yang terjadi saat ini masih menjadi tekanan bagi gerak saham INDF untuk balik menguat.

Segmen Bisnis Tepung dan CPO Masih Jadi Beban

Selain itu, gerak INDF masih cenderung terbatas lantaran masih ada beban dari segmen bisnis tepung dan minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang terdampak negatif dari penurunan harga komoditas.

Harga gandum selama satu tahun terakhir sudah anjlok lebih dari 25%, sementara harga minyak sawit cenderung bergerak stagnan di tengah harga minyak bunga matahari dan kedelai yang lebih murah.

Komoditas kedelai harganya telah ambles sekitar 22% dalam setahun terakhir menjadi US$ 11,9 per gantang. Sementara minyak bunga matahari anjlok lebih dari 26% dalam periode yang sama.

Harga minyak selain sawit yang dihargai lebih murah membuat minat konsumen beralih ke komoditas substitusi tersebut. Jadi, tak heran jika permintaan akan minyak sawit belum terlalu atraktif.

Hal ini akhirnya berimbas pada pendapatan di segmen bisnis INDF yang berkaitan dengan komoditas tepung dan CPO, diantaranya Bogasari, segmen bisnis yang menjual berbagai macam tepung hingga sembilan bulan pertama 2023 terpantau turun 0,54% secara tahunan (yoy) menjadi Rp23,21 triliun.

Sejalan dengan itu, segmen agribusiness yang menaungi bisnis minyak sawit ambles nyaris 4% ke posisi Rp11,81 triliun per September 2023, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp12,29 triliun.

Lantas Apakah INDF Masih Menarik?

Menilai dari harga saham yang cenderung stagnan, sebenarnya INDF masih menyimpan upside berupa valuasi yang sudah terdiskon.

Menggunakan metrik valuasi Price to Book Value (PBV) kini sudah berada di bawah satu kali atau tepatnya berada di 0,97 kali. Sesuai aturan rule of thumb, valuasi INDF sudah bisa dikategorikan murah.

Price to Earning Ratio (PER) juga sudah terdiskon, di mana nilainya berada di bawah 10 kali atau tepatnya di angka 5,97 kali.

Valuasi murah yang menarik untuk diakumulasi adalah ketika disertai dengan profitabilitas yang masih solid. Menelisik secara historis INDF terpantau memiliki pendapatan dan laba bersih yang selalu bertumbuh.

Selama lima tahun terakhir, pendapatan bisa dibilang sudah naik nyaris 50%. Sejalan dengan itu, laba bersih juga sudah meroket di atas 100% atau sudah naik lebih dari dua kali lipat.

Bisa dibilang valuasi murah yang terjadi di INDF dipengaruhi oleh peningkatan profitabilitas serta penurunan harga saham.

Valuasi murah juga memang seringkali menjadi acuan investor untuk beli suatu saham, akan tetapi tidak selalu saham murah selanjutnya akan diikuti harganya langsung naik.

Posisi INDF saat ini masih cenderung bergerak sideways, jika ditelisik berdasarkan analisis teknikal akan menarik jika harga bisa menguat lebih dari 6500 yang merupakan resistance terdekat berdasarkan garis rata-rata selama 100 jam atau moving average/MA 100, sekaligus mengacu pada garis horizontal yang pernah diuji pada closing 5 Desember 2023.

Kendati begitu, tetap perlu diantisipasi jika harga turun dari support terdekat yakni di 6275 yang didapatkan dari garis lurus berdasarkan low candle pada 19 Desember 2023 lalu. Jika posisi ini ditembus ke bawah masih ada potensi bisa melanjutkan tren

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation