CNBC Indonesia Research

Melawan Sejarah! Rupiah Hancur Lebur di Januari

Revo M, CNBC Indonesia
26 January 2024 17:20
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang Januari 2024. Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat secara historis rupiah justru cenderung menguat sepanjang Januari.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah mengalami depresiasi hingga 25 Januari 2024. Di awal tahun rupiah berada di angka Rp15.395/US$ dan ambruk menjadi Rp15.815 pada penutupan perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (26/1/2024). Dalam sepekan rupiah jatuh 1,31%. Dengan demikian, rupiah sudah ambruk dalam empat pekan terakhir.

Pelemahan rupiah ini terjadi beriringan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY) yang terus merangkak naik sepanjang Januari ini.

Pelemahan rupiah pada Januari 2024 ini terjadi di tengah penguatan DXY yang terjadi belakangan ini. DXY tercatat menguat dari 101,33 pada akhir Desember 2023 dan naik menjadi 103,57 atau sebesar 2,21%.

Pelemahan rupiah sepanjang Januari 2024 dipicu oleh faktor eksternal dan internal. Dari eksternal, faktor terkuat adalah masih kencangnya data ekonomi AS mulai dari inflasi hingga ketenagakerjaan yang di atas ekspektasi pasar.

Sebagai catatan, AS melaporkan ekonomi mereka tumbuh sebesar 3,3% (year on year/yoy)pada kuartal IV-2023. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi 2% dari para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang menggarisbawahi berlanjutnya ketahanan ekonomi meskipun ada kenaikan suku bunga dari The Federal Reserve (The Fed).

Lebih lanjut, data PMI Manufaktur Flash AS yang naik lebih tinggi dari konsensus dan periode satu bulan sebelumnya, yakni dari 47,9 menjadi 50,3.

Sedangkan, PMI Composite AS pada Januari 2024 secara flash menunjukkan ada kenaikan PMI dari 50,9 menjadi 52,3 dan lebih tinggi dari perkiraan yang proyeksi turun ke posisi 50,3.

Nilai PMI manufaktur di atas 50, menunjukkan kondisi manufaktur AS di fase ekspansif.

Data PMI menjadi hal yang penting karena semakin tingginya PMI, maka aktivitas manufaktur AS akan bergerak cukup panas dan berpotensi membuat inflasi semakin sulit dikendalikan.

Sementara data ketenagakerjaan AS juga masih terbilang cukup panas bahkan di atas ekspektasi pasar. Biro Ketenagakerjaan AS melaporkan penurunan klaim awal tunjangan pengangguran sebanyak 16.000 menjadi 187.000 untuk pekan yang berakhir 13 Januari 2024.

Klaim pengangguran AS menandai posisi terendah sejak September 2022, meleset jauh dari perkiraan yang proyeksi naik ke 207.000, menurut penghimpun data Trading Economics.

Data pekerjaan di luar pertanian atau Non-Farm Payroll (NFP) pun tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut diluar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.

Inflasi AS juga justru menguat ke 3,4% (year on year/yoy) pada Desember 2023, dari 3,2% (yoy) pada November 2023.

Masih kencangnya ekonomi AS ini menjauhkan harapan pelaku pasar untuk melihat pemangkasan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed). Pelaku pasar kini melihat pemangkasan suku bunga kini bergeser ke Mei dari sebelumnya pada Maret 2024.

Kekhawatiran pasar semakin memuncak mengingat situasi anjloknya mata uang Garuda pada Januari merupakan hal yang tidak biasa.

Sejak 2014, rupiah cenderung mengalami penguatan setiap Januari. Terkhusus pada 2016 hingga 2021, rupiah secara beruntun terus menguat sebanyak enam tahun beruntun.

Depresiasi rupiah hingga 26 Januari 2024 ini jika dilihat lebih rinci, secara mingguan terjadi secara beruntun sejak pekan pertama Januari. Pelemahan rupiah kali ini dinilai tidak hanya terjadi akibat faktor eksternal, namun faktor internal pun punya pengaruh yang cukup penting.

Salah satunya perihal opsi bagi investor, baik lokal maupun asing untuk mengalokasikan dananya di Indonesia khususnya selain berbasis rupiah.

Head of Economic & Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja mengungkapkan pentingnya percepatan pendalaman pasar keuangan Indonesia sebagai strategi menarik capital inflow sekaligus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Kondisi pendalaman pasar yang kurang cepat disebut Enrico membuat pilihan bagi investor untuk menempatkan dana di Indonesia menjadi terbatas meski secara fundamental ekonomi Indonesia masih sangat baik.

Jika hal ini terus terjadi dan inovasi instrumen investasi tidak berkembang, maka hot money yang sewaktu-waktu masuk ke Indonesia, akan sangat mudah untuk keluar masuk dari domestik. Situasi ini akan menjadi tantangan berat bagi mata uang Garuda karena akan menjadi sangat volatil.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation