Macro Insight

Kontraksi China Makin Gak Karuan, Indonesia Patut Waspada!

Revo M, CNBC Indonesia
01 January 2024 14:20
Kapal kargo berlabuh di dermaga untuk memuat dan membongkar peti kemas di terminal peti kemas di Pelabuhan Lianyungang, Provinsi Jiangsu, China Timur, 7 Juni 2023. (Wang Chun / CFOTO/Future Publishing via Getty Images)
Foto: Kapal kargo berlabuh di dermaga untuk memuat dan membongkar peti kemas di terminal peti kemas di Pelabuhan Lianyungang, Provinsi Jiangsu, China Timur, 7 Juni 2023. (Future Publishing via Getty Imag/Future Publishing)

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur China kembali terpuruk di zona kontraksi. Hal ini semakin mengkhawatirkan global termasuk Indonesia mengingat China merupakan mitra dagang ekspor Indonesia.

Pada Minggu (31/12/2023), China telah merilis PMI manufaktur NBS yang menunjukkan kembali menurun berada di level 49 untuk periode Desember atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di angka 49,4 maupun ekspektasi pasar di angka 49,5.

Kontraksi ini merupakan kontraksi aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut dan laju tertajam dalam enam bulan terakhir, hal ini disebabkan oleh lemahnya pemulihan akibat pelemahan properti, risiko deflasi, dan meningkatnya tantangan global.

Biro statistik menunjuk pada lingkungan eksternal yang "semakin rumit, sulit, dan tidak pasti" sebagai alasan utama berlanjutnya penurunan tersebut.

"Penurunan pesanan luar negeri serta kurangnya permintaan dari pasar domestik merupakan kesulitan utama, seperti yang dikeluhkan beberapa perusahaan dalam survei kami," kata Zhao Qinghe, ahli statistik dari biro tersebut, dilansir dari SCMP.

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini tampak memerlukan lebih banyak dukungan kebijakan untuk mencapai tujuan stabilisasi ekonomi Beijing pada tahun 2024.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah pusat telah meluncurkan serangkaian langkah untuk mendorong pertumbuhan.

Beijing juga berjanji untuk menjadikan pembangunan sebagai prioritas politik terbesar pada konferensi kerja ekonomi pusat awal bulan ini, dan berjanji untuk melawan sejumlah risiko dalam perekonomiannya yang luas dan meningkatkan kepercayaan pada tahun mendatang.

Beijing diperkirakan akan mengumumkan target pertumbuhan PDB "sekitar 5%" untuk tahun depan, target serupa dengan tahun 2023, dengan syarat kebijakan yang lebih ekspansif, menurut sejumlah penasihat ekonomi dan pemerintah.

"Kami yakin pertumbuhan akan lebih kuat tahun depan dibandingkan tahun 2023, terutama didasarkan pada siklus pemulihan di sektor properti," demikian catatan penelitian dari Rhodium Group.

"Namun, masalah struktural yang tidak terselesaikan pada tahun 2023 akan terus menghambat potensi pertumbuhan China."

Sebagai catatan, target 5% tersebut pada dasarnya masih di bawah rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 6% lebih pada dekade sebelum pandemi Covid.

Apa Dampaknya Bagi Indonesia?

Untuk diketahui, pada tahun 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai ekspor tertinggi ke China yakni sebesar US$65,9 miliar. Angka ini tumbuh sebesar 22,6% year on year/yoy jika dibandingkan tahun 2021.

Sedangkan dari sisi impor di tahun 2022, Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai impor dari China tertinggi kedua setelah Thailand yakni sebesar US$67,7 miliar atau naik 20,5% yoy jika dibandingkan tahun 2021.

Neraca Perdagangan Indonesia-China bahkan sejak 2013 mengalami defisit yang artinya nilai impor lebih besar daripada ekspor. Meskipun begitu, terdapat perbaikan defisit neraca dagang Indonesia-China khususnya dari periode 2020 hingga 2022.

Pada 2020, defisit neraca dagang Indonesia-China sebesar US$7,85 miliar lalu berkurang menjadi US$2,44 miliar pada 2021 dan pada 2022 kembali berkurang menjadi US$1,88 miliar.

Dilansir dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI), data ekspor non-migas Indonesia ke China untuk periode Januari-Oktober 2023 lebih rendah dibandingkan tahun 2022.

Tercatat ekspor non-migas ke China periode Januari-Oktober 2023 sebesar US$51.160,5 juta sementara di periode yang sama tahun sebelumnya berada di angka US$51.397 juta atau turun 0,46%.

Sedangkan total ekspor (migas dan non-migas) juga mengalami sedikit penurunan sebesar 0,04% dari US$53.235,5 juta pada periode Januari-Oktober 2022 menjadi US$53.216,9 juta pada periode yang sama di tahun 2023.

Semakin melandainya jumlah ekspor Indonesia ke China berpotensi mempersempit total neraca perdagangan Indonesia yang sebelumnya surplus cukup besar.

Sebagai catatan, surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$2,41 miliar pada November 2023. Surplus ini lebih kecil dibandingkan pada Oktober yang tercatat mencapai US$ 3,48 miliar. Surplus mengecil karena pertumbuhan impor lebih kencang.

Surplus ini disebabkan oleh nilai ekspor yang lebih besar dibandingkan impor. Nilai ekspor pada November 2023 mencapai US$22 miliar atau turun 0,67% (month to month/mtm) dan anjlok 8,56% (year on year/yoy).

Sementara itu, impor pada November mencapai US$19,59 miliar, naik 4,89% (mtm) dan menanjak 3,29 (yoy).

Jika ditelisik, penyebab menciutnya surplus dipicu oleh penurunan ekspor. Ekspor kumulatif Indonesia pada periode Januari hingga November 2023 mencapai US$236,41 atau turun 11,38%, jika dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan ini cukup parah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-November 2022 mencapai US$268,18 miliar atau naik 28,16% dibandingkan periode yang sama pada 2021.

Pertumbuhan ekspor sepanjang tahun lalu dan saat ini sangat kontras ditengarai karena melemahnya perekonomian dari mitra dagang utama Indonesia, yakni China.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, rambatan tekanan ekonomi dari global ke Indonesia masuk dari jalur perdagangan. Kondisi ekonomi China yang tengah mengalami pelemahan akibat utang publik yang melonjak hingga perlambatan manufaktur mulai berdampak ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

"Berbagai faktor struktural yang sifatnya jangka menengah panjang, antara lain labor aging serta krisis properti masih menjadi faktor pemberat dari perekonomian Tiongkok," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Kamis (21/12/2023).

Ketika surplus neraca dagang Indonesia semakin menipis, hal ini dapat berdampak kepada transaksi berjalan Indonesia yang defisit hingga persepsi investor yang kurang baik bagi Indonesia.

Defisit transaksi berjalan menjadi hal yang perlu dihindari karena memberikan kesan negatif karena kebutuhan dolar di Indonesia akan menjadi semakin banyak dan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation