CNBC Indonesia Insight

AS Cabut dari Proyek RI, Begini Pasar Pengganti LPG di Dunia

Revo M, CNBC Indonesia
28 December 2023 18:30
Air Products & Chemicals Inc. (Dok. airproducts)
Foto: Air Products & Chemicals Inc. (Dok. airproducts)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk mengundurkan diri dari konsorsium proyek gasifikasi batu bara di Indonesia. Hal ini membuat realisasi proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Tanah Air masih jalan di tempat. Padahal, proyek DME ini digadang-gadang bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) RI.

Air Products disebut mundur dari dua proyek besar di RI, yakni proyek gasifikasi batu bara menjadi DME yang bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero), serta proyek gasifikasi batu bara menjadi etanol dengan perusahaan Group Bakrie, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, salah satu tantangan terbesar dalam proyek hilirisasi batu bara di Indonesia adalah faktor keekonomian yang dinilai masih tinggi.

Hendra juga menegaskan penyebab faktor keekonomian yang cukup tinggi ada beberapa hal, salah satunya yakni teknologi yang belum memadai.

Sebagai informasi, proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini mulanya ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dan diperkirakan menyerap 6 juta ton batu bara per tahunnya.

Dengan produksi 1,4 juta ton DME per tahun, maka diperkirakan bisa menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahunnya.

Proyek yang disaksikan langsung awal pembangunannya atau ground breaking oleh Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022 ini mulanya diperkirakan akan membutuhkan investasi US$ 2,1 miliar dan bisa menghemat devisa pengadaan impor LPG hingga Rp 9,14 triliun per tahun.

Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, keputusan Air Products untuk tidak lagi melanjutkan proyek kerja sama hilirisasi batu bara di Indonesia karena ada beberapa pertimbangan, salah satunya lantaran pengembangan bisnis di Amerika lebih menarik ketimbang di Indonesia.

"Air Products kemarin karena dia itu merasa di Amerika lebih menarik bisnisnya dia ke sana," kata Arifin saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Selasa (17/03/2023).

Kendati Air Products hengkang dari Indonesia, namun Arifin menegaskan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia harus tetap jalan. Terutama untuk proyek PTBA dan Pertamina terkait gasifikasi batubara menjadi DME serta proyek Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia terkait proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol.

"Tetap harus jalan, DME jalan dong, entah DME entah yang mana pokoknya harus jalan," kata Arifin.

Direktur Utama PTBA, Arsal Ismail mengatakan bahwa sembari menyusun ulang jadwal berjalannya proyek gasifikasi batu bara di Indonesia yang berkonsorsium dengan PT Pertamina (Persero) ini, pihaknya saat ini sedang dalam proses negosiasi dengan perusahaan asal China untuk menggantikan posisi Air Products pada proyek gasifikasi batu bara dalam negeri.

"Ya itu memang perusahaan dari China sedang kita proses. Kita sedang rapat negosiasi, nah mudah-mudahan mereka nanti bisa (masuk). Tentunya kita harapkan menggantikan Air Products," jelasnya.

Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Idris Sihite menyampaikan pada Maret 2023 bahwa sudah ada perusahaan asal China yang melakukan presentasi untuk melanjutkan proyek DME ini, khususnya proyek DME bersama dengan PT Kaltim Prima Coal (KPC), anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI).

Dia menyebut, investor China tersebut yaitu Sedin Engineering Company Ltd.

"Presentasi dengan beberapa perusahaan (bukan hanya KPC). Ini bukan kita yang mengundang ya, mereka paparan dalam perusahaan itu yang saya tau, silahkan saja mereka B to B," ungkap Idris Sihite saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (16/3/2023).

Hingga saat ini, progress proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Indonesia masih relatif jalan di tempat. Lantas bagaimana dengan negara lain? Apakah ada negara yang telah berhasil memanfaatkan gasifikasi batu bara menjadi DME?

Perkembangan DME di China

Adapun salah satu negara yang sudah mengembangkan gasifikasi batu bara menjadi DME yaitu China.

Toyo Engineering Corporation (TOYO), produsen DME asal Jepang, akhirnya membangun pabrik DME di China pada 2002 karena diminta oleh salah satu perusahaan pupuk terkemuka asal Provinsi Sichuan, China, Lutianhua Group Inc. Pabrik ini mulai beroperasi pada tahun 2003. Namun, ini masih berbahan baku dari gas alam. 

Setelah mencapai kinerja operasional yang sangat baik, TOYO kemudian melanjutkan proyek DME ke-2 berkapasitas 110.000 ton/tahun di China, dan masih berbasis gas alam.

Tak berhenti di situ,  TOYO kemudian melanjutkan dengan proyek pabrik DME ke-3 dengan kapasitas produksi 210.000 ton/tahun dan telah beroperasi sejak 2007. Penyerap DME-nya yaitu Shenhua Ningxia Coal Group Co. Ltd. Lalu, pabrik DME ke-4 dengan kapasitas produksi 140.000 ton/tahun yang diserap oleh Shanxi Lanhua Clean Energy Co. Ltd. Adapun proyek DME ke-3 dan 4 tersebut berbahan baku batu bara.

Sebagai informasi, DME adalah sumber energi bersih dan sejenisnya tidak menghasilkan sulfur oksida atau jelaga selama pembakarannya dampak lingkungan rendah.

Mengingat sifatnya yang tidak beracun, DME mudah ditangani dan karenanya bisa digunakan sebagai bahan bakar sektor domestik (pengganti LPG), bahan bakar transportasi (kendaraan diesel, kendaraan sel bahan bakar), pembangkit listrik bahan bakar (pembangkit termal, pembangkit kogenerasi, sel bahan bakar stasioner), dan sebagai bahan baku produk kimia.

Ukuran Pasar DME di Dunia

Dilansir dari berbagai sumber riset, ukuran pasar (market size) DME dari tahun ke tahun diproyeksikan terus mengalami peningkatan. Bahkan, riset yang dikeluarkan oleh Research Nester Inc. mengungkapkan bahwa ukuran pasar DME pada 2035 diproyeksikan menembus angka US$ 22 miliar.

Secara umum, berbagai riset menunjukkan Compounded Annual Growth Rate (CAGR) ukuran DME berada di kisaran 9-10% sejak 2023 hingga 2035.

Asia Pasifik muncul sebagai pasar terbesar untuk DME global, dengan pangsa pasar sekitar 40,4% dan pendapatan pasar US$ 1,69 miliar pada tahun 2021. Hal tersebut terjadi akibat penerimaan pasar DME akibat banyaknya kegunaan dalam campuran LPG, yang terus meningkat untuk mencapai kelestarian lingkungan.

Selain itu, kemudahan akses China terhadap cadangan batu bara akan meningkatkan membantu industri DME kawasan di Asia Pasifik. Pemberlakuan peraturan lingkungan hidup tertentu oleh sebagian besar pemerintah daerah akan menguntungkan pertumbuhan DME.

DMEFoto: DME Market Application
Sumber: gminsights.com

Selanjutnya, intelijen pasar global yakni SkyQuest Technology Group menilai bahwa bahan baku DME secara umum didominasi berasal dari metanol dan gas alam. Sementara porsi bahan baku batu bara dan bahan baku lainnya lebih sedikit untuk memproduksi DME hingga setidaknya tahun 2028.

DMEFoto: Global DME Market Size by Raw Material
Sumber: Skyquest

Penggerak dan Tantangan DME di Dunia

Pasar DME di global dapat terus bertumbuh jika terjadi peningkatan ekspor Eter Aromatik, peningkatan penggunaan pencampuran LPG, memperluas penggunaan pencampuran LPG, dan meningkatnya minat terhadap kendaraan non listrik dan listrik.

Kendati demikian, tantangan pengembangan DME pun hadir di tengah potensi yang begitu besar, yakni peraturan pemerintah/regulasi yang kurang mendukung kehadiran DME maupun tingginya biaya produksi yang tidak dapat bersaing.

Lebih lanjut, investasi infrastruktur yang signifikan pun diperlukan untuk distribusi eter, terutama untuk pembuatan jaringan distribusi.

Pasar DME tidak dapat berkembang karena kurangnya jaringan distribusi yang memadai, sehingga eter yang dibuat dengan dimethyl tidak dapat diakses oleh sejumlah besar pelanggan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation