
Jamu Pahit BI Terbukti Manjur Bulan Lalu, Ini Buktinya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Putusan Bank Indonesia (BI) dalam menaikkan suku bunga acuan menjadi 6% pada Oktober 2023 memberikan dampak positif di pasar keuangan. Kenaikan ikut membantu menurunkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun, menarik capital flow, dan memperbaiki pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%.
Ini adalah kenaikan kedua dalam tahun ini, sebelumnya BI mengerek suku bunga pada Januari 2023. Selain itu, keputusan ini pun cukup mengejutkan pasar karena berbeda dengan proyeksi pelaku pasar yang memperkirakan bank sentral RI tersebut masih akan menahan suku bunga acuan di level 5,75%.
Kenaikan suku bunga BI dilakukan di tengah derasnya tekanan terhadap mata uang rupiah. Dalam catatan Refinitiv, Rupiah terus melemah dari Rp 15.680 pada 13 Oktober 2023 menjadi Rp 15.810 pada hari pelaksanaan RDG atau 19 Oktober.
Imbal Hasil SBN Tenor 10 Tahun
Pada tanggal 19 Oktober 2023, imbal hasil SBN tenor 10 tahun berada di angka 7,02% dan sempat menyentuh puncaknya pada 23 Oktober di angka 7,26% yang merupakan posisi tertinggi sejak 10 November 2022.
Seiring berjalannya waktu, dilansir dari Refinitiv pada 22 November 2023, imbal hasil SBN tersebut berada di angka 6,65% atau turun 0,37 percentage point. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pembelian SBN domestik sebab harga obligasi mengalami kenaikan.
Untuk diketahui bahwa yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang naik demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.
Dari sisi kepemilikan asing pun mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 14,75% dengan total Rp813,64 triliun pada 19 Oktober 2023 menjadi 14,77% dengan total Rp823,07 triliun pada 21 November 2023.
Capital Flow
Masuknya dana asing pasca kenaikan suku bunga BI pun tercermin dari capital inflow yang terjadi pada SBN dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sejak pekan keempat Oktober hingga pekan ketiga November 2023.
Dalam empat pekan terakhir, tercatat investor asing masuk ke SBN sekitar Rp7,15 triliun dan SRBI di kisaran Rp8,68 triliun. Atau jika ditotalkan dengan saham, maka nyaris Rp10 triliun investor asing masuk ke dalam pasar keuangan domestik.
Derasnya capital inflow tersebut tidak hanya terjadi karena kenaikan suku bunga BI, namun juga karena bank sentral AS (The Fed) secara firm mempertahankan suku bunganya pada awal November 2023 di level 5,25-5,50% hingga pelaku pasar meyakini bahwa The Fed tampak sudah mencapai terminal rate dan less hawkish ke depannya.
Pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS
Pada penutupan perdagangan 19 Oktober 2023, rupiah ditutup melemah terhadap dolar AS di angka Rp15.810/US$. Bahkan pada 27 Oktober 2023 sempat mencapai titik terlemahnya di angka Rp15.935/US$ atau mendekati level psikologis Rp16.000/US$.
Kendati demikian, rupiah mengalami penguatan hingga 22 November 2023 ditutup di angka Rp15.570/US$ atau menguat 1,54% basis rupiah. Bahkan pada penutupan 21 November 2023, rupiah menyentuh level terendahnya di angka Rp15.435/US$ atau posisi terkuat sejak 25 September 2023.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pada konferensi pers hasil RDG bulan lalu kembali mengeluarkan 'jamu pahit' dan 'jamu manis' untuk menjaga stabilitas rupiah, inflasi, serta ekonomi domestik. Jamu pahit merujuk pada kenaikan suku bunga.
Istilah jamu pahit dan jamu manis sendiri telah berulang kali digunakan Perry untuk menggambarkan kebijakan moneter, makroprudensial dan lain sebagainya yang menopang stabilitas rupiah, inflasi hingga ekonomi Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)