Terkuak! Ini Masalah yang Gerogoti Produktivitas Sawit RI

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
17 November 2023 17:20
Pemandangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)
Foto: Pemandangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)
  • Swasta menguasai kelapa sawit dari segi luas lahan dan produksi, namun secara produktivitas pemerintah rajanya.
  • Terdapat 3 kendala produktivitas industri kelapa sawit Indonesia: legalitas lahan, kualitas bibit, dan ketersediaan pupuk
  • Bursa CPO dapat meningkatkan manfaat untuk petani kelapa sawit dan perusahaan perkebunan sawit

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelapa sawit merupakan komoditas andalan dengan salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia. Industri perkebunan kelapa sawit Indonesia digolongkan dalam tiga tipe yaitu swasta, perkebunan rakyat (smallholders), dan pemerintah. Lantas, siapa raja dari industri sawit dan siapa yang paling produktif?

Melansir data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional pada 2022, pemilik lahan sawit terbesar masih dikuasai oleh pihak swasta dengan luas sebesar 8,4 juta hektare (ha). Posisi selanjutnya yaitu perkebunan rakyat (6,3 juta ha) dan pemerintah (597,7 ribu ha) berada di posisi terakhir.

Sumber yang sama juga menunjukkan bahwa realisasi produksi sawit yang dihasilkan juga masih dipimpin oleh swasta sebanyak 29,5 juta ton. Posisi kedua dan ketiga masih dari pihak yang sama yaitu perkebunan rakyat (16,2 juta ton) dan pemerintah (2,4 juta ton).

Kedua data tersebut dapat menghasilkan tingkat produktivitas dari setiap hektar sawit yang dihasilkan. Kali ini, pemerintah dapat "unjuk gigi" sebagai rajanya dengan produktivitas 4,1 ton/ha. Swasta berada di peringkat kedua (3,5 ton/ha) dan smallholders (2,6 ton/ha). Sebagai catatan, data ini tidak memisahkan antara petani swadaya dan plasma. Tingginya produktivitas pemerintah terjadi seiring dengan luas lahan yang tidak begitu besar.

Meski demikian, tingkat produktivitas sawit Indonesia masih terbilang cukup rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor. Melansir Special Dialogue industri kelapa sawit yang diselenggarakan CNBC Indonesia, Ketua Pusat Riset Sawit IPB Budi Mulyanto mengungkapkan legalitas lahan, kualitas bibit, hingga ketersediaan pupuk menjadi salah satu alasan rendahnya produktivitas kelapa sawit di tanah air.

Masalah Produktivitas: Legalitas lahan

Untuk legalitas lahan, biasanya lahan sawit berbatasan dengan kawasan hutan, sehingga dibutuhkan legalitas yang jelas.

"Masalah legalitas ini yang seringkali membuat ribut, karena ada yang datang mematok lahan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan. Ini harus diikuti, karena kalau tidak menjadi masalah. Untuk itu bagaimana supaya legalitas dirapikan," kata Budi dalam CNBC Indonesia Special Dialogue, Kamis (16/11/2023).

Masalah legalitas lahan biasanya kendala yang seringkali ditemui terutama pada perkebunan sawit rakyat. Akibatnya produktivitas perkebunan sawit rakyat biasanya lebih rendah dibandingkan institusi. Meski pemerintah telah mendorong replanting tanaman sawit, dia menilai legalitas lahan sering kali menghalangi. Pasalnya, dana replanting tidak dapat disalurkan jika perkebunan sawit berada di kawasan hutan.

Hal ini sejalan dengan langkah Tim Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, yang telah berencana melegalkan alias memutihkan jutaan hektare (ha) lahan kelapa sawit yang selama ini diduga berada di kawasan hutan. Hanya saja, langkah pemerintah ini dinilai akan memicu chaos.

Pemutihan ini paling lambat berlangsung pada tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) Nomor 110 A dan 110 B yang mengatur soal izin berusaha di kawasan hutan dan sanksi jika melanggar.

Namun, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin menilai adanya kerancuan. Di mana penetapan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat lahan sawit disebabkan adanya kerancuan dalam proses perizinan sehingga menimbulkan polemik di kalangan pelaku usaha.

Ia menilai HGU yang dimiliki pelaku usaha sawit saat ini tidak tunduk oleh UU Cipta Kerja. Pasalnya, HGU itu ditetapkan lebih dahulu sehingga sulit dibatalkan. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu melakukan dialog dan sosialisasi dengan pelaku industri dan masyarakat untuk mencegah adanya penafsiran yang berbeda.

Menurutnya pemerintah atau satgas harus mengutamakan tata kelola terlebih dahulu terutama soal legalitas lahan yang perlu pendataan dengan tepat serta dikelola dalam basis data yang parsial. Hal ini penting sehingga tidak terjadi polemik sengketa HGU di kemudian hari.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyampaikan ada narasi yang salah terkait rencana pemerintah yang akan memutihkan atau melegalkan 3,3, juta ha perkebunan kelapa sawit yang selama ini berada di kawasan hutan.

Untuk itu, Gapki menilai narasi-narasi yang menganggap 3,3 juta ha perkebunan sawit diputihkan karena masuk dalam kawasan hutan dan merugikan negara harus diluruskan.

Masalah Produktivitas: Kualitas Bibit & Ketersediaan Pupuk

Selain legalitas lahan, ketersediaan pupuk juga seringkali menjadi kendala. Biasanya kualitas bibit sawit di perkebunan rakyat tidak terkontrol dengan baik dan membuat produksinya lebih rendah.

Budi mengharapkan BPDPKS bisa menyediakan bibit sawit dengan kualitas baik untuk perkebunan rakyat.

Terakhir, pupuk pun menjadi aspek penting bagi industri sawit. Jika penyaluran pupuk lambat, maka produktivitas pun bisa turun. Bahkan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat ME Manurung mengatakan penurunan produksi kelapa sawit. Tetapi penyebabnya bukan karena El Nino tetapi karena petani tidak mau memupuk.

Gulat menjelaskan banyak petani kelapa sawit yang tidak mau memupuk tanaman mereka karena harga Tandan Buah Segar (TBS) yang turun akibat ulah spekulan. Sedangkan harga pupuk dan ongkos produksi kian mahal. Ini yang akhirnya menyebabkan turunnya produksi kelapa sawit.

Bursa CPO

Diperkirakan bahwa, ada sekitar Rp60 triliun nilai sawit produksi petani swadaya yang berpotensi hilang setiap tahunnya, sebagai efek harga yang selalu berfluktuasi tajam, sebelum adanya bursa CPO Indonesia.

Angka itu, katanya, berasal dari selisih harga tandan buah segar (TBS) sawit petani swadaya dengan produksi petani bermitra dan perusahaan perkebunan sawit.

"Pasca-berdirinya bursa CPO harga TBS jadi lebih stabil. Karena ada saingan dari harga lain," ujar Gulat. "Coba perhatikan, harga TBS petani swadaya itu bisa selisihnya sampai Rp500-600 per kilogram (kg). Kalau dikalikan luas 8,6 juta hektare, sebulan ada Rp60 triliun yang hilang. Uang petani swadaya di situ," tambah Gulat.

Dia pun meminta pemerintah segera mencari penyebab utama dalamnya selisih harga TBS petani swadaya tersebut.

Melansir data Bappebti, harga CPO terbagi dalam 3 jenis yaitu Spot Medan, kontrak forward Rotterdam, dan Futures Jakarta JCDX. Harga CPO Spot Medan berada di Rp 13.784/kg, harga forward Rotterdam kontrak Desember 2023 sebesar US$965 per juta ton, dan kontrak futures Jakarta JCDX masih belum mengalami update.

Beragamnya pilihan harga CPO dapat menjadi pilihan untuk penentuan harga. Hal ini dapat menjadi daya tawar dan pilihan untuk pelaku industri dalam menetapkan harga jualnya.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation