Kebutuhan Energi Bersih Mendesak, Kapan RI Bangun PLTN?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
15 November 2023 17:20
A model of a prospective nuclear power plant is on display at the nuclear energy museum Atom, located in a pavilion of the Exhibition of Achievements of National Economy (VDNKh) in Moscow, Russia, October 26, 2023. The exhibition centre will be officially opened to showcase the historic and modern achievements of the country's nuclear industry and display expositions dedicated to the Soviet atomic project, the nuclear arms race between the USSR and the United States, other subjects. REUTERS/Yulia Morozova
Foto: REUTERS/YULIA MOROZOVA

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebutuhan listrik Indonesia dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan akan terus meningkat seiring pertumbuhan dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan permintaan ini ke depannya harus diimbangi dengan diversifikasi energi bauran yang memiliki emisi rendah untuk mencapai Indonesia Net Zero Emission 2060. Salah satu yang memiliki potensi besar dengan emisi yang lebih rendah ialah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang saat ini sedang dikaji untuk pengembangannya di tanah air.

Proses pengembangan ini memerlukan dibentuknya Badan Pelaksana Program Energi Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO). Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel menjelaskan, NEPIO sendiri merupakan sebuah badan yang bertugas mempersiapkan pembangunan PLTN. Adapun pembentukannya memerlukan persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

Herman menilai, dengan adanya NEPIO, maka peneliti peneliti di Badan Tenaga Nuklir Nasional yang saat ini telah dilebur menjadi organisasi riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bisa masuk di dalamnya.

Sementara, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak Pemerintah segera membentuk kembali badan-badan riset yang telah dilebur ke dalam BRIN. Terutama apabila pemerintah serius untuk mengembangkan energi nuklir di Indonesia.

Sementara itu, berdasarkan laman World Nuclear Association, pembangunan PLTN hingga beroperasi penuh rata-rata membutuhkan waktu hingga 117 bulan atau 10 tahun lamanya dari awal kontrak pengerjaan.

Source: Statista

Namun, pengembangan PLTN ini direncanakan tidak langsung semasif negara lain yang telah memiliki pengalaman lebih. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel menjelaskan dalam skenario tersebut, PLTN yang akan dibangun rencananya adalah PLTN skala kecil atau Small Modular Reactor (SMR).

"Di draf RPP KEN 200 MegaWatt (MW), jadi tidak skala besar seperti yang dibangun negara maju. Dulu Menteri ESDM bilangnya ya kita bisa coba tapi gak usah besar dulu 100 atau 200 MW," ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner, Selasa (14/11/2023).

Jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan PLTN berbagai negara yang telah memiliki kapasitas ribuan megawatt. 

Namun, bagaimana pro kontra dari PLTN ini, khususnya dari segi risiko yang cukup besar dari yang berdasarkan pengalaman berbagai negara?

Data statistik IEA memperkirakan ancaman tingkat kematian dari PLTN merupakan yang terendah dibandingkan beberapa sumber energi fosil lainnya. Batu bara, minyak, biomasa, dan gas telah menghasilkan korban jiwa baik dari tenaga kerja maupun masyarakat umum yang jauh lebih besar dibandingkan nuklir.

Namun, Jurnal Energy Policy yang berjudul "The costs of failure: A preliminary assessment of major energy accidents, 1907-2007" mencatat kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir menduduki peringkat pertama dalam hal biaya ekonomi, yaitu sebesar 41 persen dari seluruh kerusakan properti. Sepanjang 1907-2007, terdapat kerusakan properti senilai US$ 41 miliar.

Minyak dan pembangkit listrik tenaga air masing-masing menyumbang sekitar 25 persen, diikuti oleh gas alam sebesar 9 persen dan batu bara sebesar 2 persen. Selain itu, terdapat berbagai kecelakaan nuklir yang juga memberikan kerusakan yang signifikan.

Berikut merupakan enam kecelakaan nuklir paling dahsyat dalam sejarah.

Kyshtym (29 September 1957)

Setelah Perang Dunia II, Uni Soviet membangun fasilitas rahasia, termasuk pabrik Mayak di Ozyorsk, Rusia. Pada 29 September 1957, sistem pendingin di pabrik tersebut gagal, menyebabkan ledakan dan pelepasan bahan radioaktif. Wilayah sekitarnya seluas 300 mil persegi terpapar, dan evakuasi dilakukan setelah satu minggu. Penyakit misterius muncul di antara penduduk yang tidak tahu apa yang terjadi.

Windscale (10 Oktober 1957)

Reaktor nuklir pertama Inggris, Windscale, mengalami kebakaran pada 10 Oktober 1957. Operator memadamkan api dengan risiko nyawa, tetapi awan radioaktif menyebar ke seluruh Eropa. Meskipun tidak ada evakuasi, penjualan susu dilarang selama sebulan, dan diperkirakan 240 kasus kanker terkait dengan kejadian ini.

Pulau Three Mile (28 Maret 1979)

Pada 28 Maret 1979, di Three Mile Island, AS, reaktor mengalami kegagalan katup, memicu krisis nuklir. Operator membuat kesalahan kritis, dan radiasi meningkat. Gubernur memerintahkan evakuasi wanita hamil dan anak-anak. Meskipun tidak ada korban resmi, kepercayaan masyarakat pada tenaga nuklir terkikis.

Church Rock (16 Juli 1979)

Limbah radioaktif tumpah dari Bendungan Church Rock di New Mexico, mencemari tanah dan air Bangsa Navajo. Pejabat meremehkan insiden ini karena terjadi di wilayah pedesaan, menyebabkan ketidakpedulian terhadap dampak pada penduduk asli.

Chernobyl (26 April 1986)

Pembangkit nuklir Chernobyl, Ukraina, mengalami kecelakaan pada April 1986. Ledakan merusak reaktor dan melepaskan awan radioaktif yang mencapai Eropa. Korban jiwa dan dampak kesehatan masih belum diketahui, tetapi ribuan orang diperkirakan tewas atau menderita.

Fukushima (11 Maret 2011)

Gempa bumi dan tsunami di Jepang pada 11 Maret 2011 menyebabkan kegagalan sistem pendingin di Pembangkit Fukushima Daiichi. Reaktor meleleh sebagian, dan evakuasi dilakukan dalam radius 30 km. Meskipun awalnya tidak ada korban langsung, dampak jangka panjang terlihat melalui hilangnya nyawa akibat gempa dan tsunami.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

(mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation