
Masuki Tren Bullish, Pasar Saham Siap Terbang

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham, terutama dari kiblatnya Wall Street di Amerika Serikat (AS), tampaknya mulai mengabaikan sinyal dari obligasi pemerintahan AS alias US Treasury, dan berpotensi menguat hingga akhir tahun. Terlebih, inflasi AS juga melandai.
Indeks S&P500 di AS sukses melonjak delapan kali dari 10 hari terakhir dan melesat 7% ke posisi 4.415,24 dalam 2 pekan terakhir, rekor tersendiri selama setahun ini. S&P 500 sukses rebound usai turun ke 4.117,37 pada 27 Oktober lalu.
Bursa AS, Wall Street, kembali berpesta setelah inflasi AS melandai. Ketiga indeks ditutup menguat tajam pada perdagangan Selasa waktu AS yang ditutup pada Rabu dini hari waktu Indonesia (15/11/2023).
Dow Jones melonjak 1,43% di level 34.827,70, S&P 500 melesat 1,91% di level 4.495,70, dan Nasdaqmeroket 2,37% di level 14.094,38.Indeks terbang setelah inflasi AS melandai.
Inflasi AS melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, lebih rendah dibandingkan 3,7% (yoy) pada September serta di bawah ekspektasi pasar (3,3%). Ini adalah kali pertama inflasi AS melandai dalam empat bulan terakhir. Secara bulanan, inflasi AS tercatat 0% atau stagnan. Inflasi inti- di luar makanan dan energi- tercatat 4% (yoy), turun dibandingkan 4,1% (yoy) pada September.
Saat ini, banyak investor yang mulai pede reli tersebut akan berlanjut.
Banyak pihak yang memangkas taruhan bearish terhadap indeks S&P 500 dan indeks Nasdaq-100 yang sarat saham teknologi, karena takut akan terjebak jika kenaikan besar terus berlanjut.
Indeks Volatilitas, atau VIX, yang dikenal sebagai "pengukur ketakutan" Wall Street, telah jatuh dari level tertingginya di bulan Oktober, dan baru-baru ini merosot selama delapan sesi berturut-turut. VIX sempat di level 23,08 pada 23 Oktober 2023 sebelum per 14 November berada di 14,67.
Saham dan obligasi memang mendapat dorongan ganda dari Washington awal bulan ini.
Departemen Keuangan AS meningkatkan jumlah lelang utang jangka panjang dengan jumlah yang lebih kecil dari perkiraan banyak orang, dan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) mengisyaratkan, kemungkinan besar pihaknya tidak akan menaikkan suku bunga lagi pada tahun ini.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah atau kerap disebut US Treasury, yang telah memicu sebagian besar volatilitas baru-baru ini, turun ke 4,616% setelah sempat menembus 5% untuk pertama kalinya dalam 16 tahun pada Oktober, memberikan amunisi bagi kenaikan saham. S&P 500 memperoleh keuntungan sebesar 15,36% untuk 2023, sedangkan Nasdaq Composite naik 32,55% setelah mencatat hari terbaiknya sejak Mei pada Jumat pekan lalu.
Bullish market kembali?
Ahli strategi Wall Street Ed Yardeni mengatakan dalam sebuah catatan kepada kliennya pada Senin bahwa pasar bullish (bull market) kembali aktif seiring kekhawatiran mengenai imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dan harga minyak telah mereda.
Dalam perkiraan Presiden Yardeni Research tersebut, pasar bearish di AS berakhir pada Oktober 2022, dan pasar saham telah berada dalam pasar bullish sejak saat itu. Yardeni menyebut, pelemahan pada Agustus hingga Oktober hanyalah sebuah koreksi.
Yardeni menyebut, saat ini para "bond vigilantes" dan kekhawatiran mereka telah surut, yang artinya menjadi sinyal positif bagi indeks S&P 500 untuk naik ke level 4,600 pada akhir 2023 dan 5.400 pada akhir 2024.
Jika S&P 500 bisa mencapai 4.600, itu berarti indeks akan naik lagi sebesar 4% pada akhir tahun.
Istilah "bond vigilantes" atau secara harafiah penjaga obligasi adalah trader obligasi yang mengancam akan menjual, atau benar-benar menjual, obligasi dalam jumlah besar untuk memprotes atau menandakan ketidaksukaan terhadap kebijakan penerbitnya, termasuk pemerintah AS.
Menjual obligasi akan menurunkan harga obligasi, menaikkan suku bunga, dan membuat penerbit obligasi lebih mahal untuk meminjam.
Istilah ini pertama kali diciptakan pada 1980an untuk merujuk pada momen trader obligasi yang memprotes kebijakan moneter bank sentral Federal Reserve (The Fed) yang dovish pada saat itu.
Sekarang, seiring imbal hasil Treasury bertenor 10 tahun telah menyentuh 5% tanpa menyebabkan kerusakan langsung pada perekonomian, investor mungkin memiliki kepercayaan diri untuk mendorong saham lebih tinggi, kata Yardeni.
"Kami memperkirakan imbal hasil obligasi dan harga minyak akan stabil di sekitar level saat ini. Jika demikian, maka reli Sinterklas dapat berlanjut hingga akhir tahun sesuai perkiraan kami. Selama koreksi pasar saham terbaru, Bond Vigilantes naik dan naik tinggi. Sekarang investor saham mungkin akan kembali mengambil risiko," jelas Yardeni, dikutip CNBC International, 13 November 2023.
Namun, Yardeni mengingatkan bahwa reli tersebut bukanlah sebuah pertaruhan yang pasti. Dia memperkirakan kemungkinan terjadinya resesi pada tahun 2024 sebesar 35%.
Bagaimana dengan IHSG?
Hanya saja, optimisme dari Wall Street masih belum begitu terasa di pasar saham RI. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik 0,27% dalam sepekan dan minus 1,12%.
IHSG masih minim katalis. Apalagi, investor asing juga masih mencatatkan penjualan bersih (net sell). Dalam sepekan terakhir, net sell asing mencapai Rp1,68 triliun di pasar reguler.
Dalam beberapa hari mendatang, investor akan mencermati data inflasi terbaru ketika angka indeks harga konsumen (IHK) dan indeks harga produsen (IHP) AS dirilis pada Selasa dan Rabu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(trp/trp)