
Harga Batu Bara Berbalik Arah, Jerman Ketagihan Setrum Kotor?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara berbalik arah ke zona hijau, namun masih tertekan pasca terkoreksi 7 hari beruntun. Kenaikan ini menyebabkan harga batu bara mampu kembali di atas level US$140 per ton.
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak November ditutup di posisi US$ 141,6 per ton atau naik 1,98% pada perdagangan Jumat (6/10/2023).
Pembalikan arah ini menjadikan si pasir hitam pertama kali berada di zona hijau sepanjang Oktober. Kinerja buruk sepanjang Oktober menjadikan batu bara ambruk 9,43 bulan ini, melanjutkan koreksi pada September sebesar 1,36%.
Penguatan harga batu bara di hari terakhir pekan ini disinyalir akibat sentimen Pemerintah Jerman yang tetap mempertahankan pembangkit listrik tenaga batubara lignit dalam keadaan siaga untuk menghadapi musim dingin mendatang.
Jerman yang berkomitmen mengurangi penggunaan batu bara telah mendapat insentif €35 miliar dari pemerintah. Kendati demikian, potensi krisis energi dan Eropa kedinginan menjadikannya 'kecanduan' energi kotor yang murah ini.
Di sisi lain, pelemahan harga batu bara sebelumnya disinyalir akibat India, sebagai importir terbesar kedua di dunia, yang mengurangi impornya. Analis Bimco, Filipe Gouveia, mencatat penurunan impor batu bara India sebesar 9% hingga akhir September 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Berkurangnya impor disebabkan penambangan batu bara di India meningkat 12% sepanjang 2023 dibanding tahun sebelumnya (yoy). Produksi batu bara India secara keseluruhan meningkat 15,8% menjadi 67,2 juta ton pada September, dengan Coal India Ltd menyumbang lebih dari 80% dari produksi batu bara domestik.
Sementara itu, di China, pelemahan harga juga terkait dengan kenaikan produksi batu bara di Provinsi Shanxi, yang merupakan penopang produksi batu bara di Negeri Tirai Bambu. Produksi batubara mentah di Shanxi mendekati 900 juta ton dalam delapan bulan pertama tahun ini, menekan tingkat impor China dan menjaga harga tetap stabil.
Ditambah dengan proyeksi ketatnya kebijakan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), sekitar 28,8% pelaku pasar memperkirakan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan November mendatang. Kebijakan ketat ini diperkirakan akan mengakibatkan perlambatan ekonomi AS dan global, menekan permintaan komoditas termasuk batu bara.
Di sisi lain, sebagai substitusi batu bara, harga gas Eropa mengalami koreksi akibat lemahnya permintaan dan peningkatan pasokan. Produksi listrik dari Energi Baru Terbarukan juga berperan, dengan produksi tenaga angin Inggris diperkirakan akan meningkat.
Dengan meningkatnya produksi batu bara di India dan proyeksi ketatnya kebijakan suku bunga di AS, harga batu bara saat ini terus mengalami pelemahan, memberikan tekanan pada pasar energi global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)