4 Faktor yang Buat Rupiah Ambruk, Ada Andil Amerika dan China

rev, CNBC Indonesia
27 September 2023 07:10
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penguatan mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi beberapa waktu terakhir berujung pada tertekannya mata uang Asia maupun global, termasuk rupiah.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 0,58% pada Selasa (26/9/2023) ke posisi Rp15.485/US$. Pelemahan rupiah ini merupakan yang terparah dibandingkan mata uang lainnya dan merupakan yang terlemah sejak 10 Januari 2023 atau sekitar delapan bulan terakhir.

Sementara peso Filipina juga mengalami pelemahan yang cukup signifikan yakni 0,53% pada Selasa (26/9/2023). Rupee India juga terdepresiasi sebesar 0,12%. Berbeda halnya dengan pound sterling, yuan China, dan yen Jepang yang menguat sebesar 0,1%. Begitu pula dengan baht Thailand yang memimpin penguatan terhadap dolar AS sebesar 0,05%.

Pelemahan mata uang Asia dan global ini tak lepas dari perkasanya dolar AS yang tercermin melalui indeks dolar (DXY) yang telah terjadi bahkan sejak akhir Juli 2023. Pada 14 Juli, DXY tercatat di angka 99,91 dan pada penutupan perdagangan kemarin (26/9/2023), DXY tercatat di posisi 106,18 atau telah terapresiasi sebesar 6,27%.

Pelemahan mata uang Asia khususnya rupiah ini secara utama disebabkan oleh faktor eksternal, khususnya dari AS itu sendiri. Berikut ini beberapa alasan mengapa rupiah terus mengalami pelemahan.

1. The Fed Hawkish

AS kini mencatatkan inflasi sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy. Sementara target inflasi yang ditetapkan oleh bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yakni sebesar 2%.

Sebelumnya pada Kamis (21/9/2023),  The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di level 5,25-5,50%. Hal ini sudah sesuai dengan perkiraan pasar sebelumnya, di mana mereka memperkirakan The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya.

Namun, pasar cenderung kecewa karena The Fed mengindikasikan akan tetap mempertahankan sikap hawkish-nya setidaknya hingga akhir tahun ini.

The Fed mengindikasikan bahwa satu kali kenaikan suku bunga lagi diperkirakan terjadi sebelum akhir tahun ini dalam proyeksi ekonominya. Hal ini sebenarnya sudah sesuai dengan pernyataan The Fed sebelumnya di mana ruang untuk kenaikan suku bunga tinggal sekali lagi di tahun ini.

Para petinggi otoritas moneter Negeri Paman Sam tersebut pun memproyeksikan kenaikan suku bunga akan kembali terjadi pada akhir tahun, dengan mencapai level 5,50-5,75%.

"Indikator terkini menunjukkan jika aktivitas ekonomi masih solid. Penambahan tenaga kerja melandai dalam beberapa bulan terakhir tetapi tetap kuat. Tingkat pengangguran tetap rendah tetapi inflasi masih naik," tutur The Fed dalam keterangan resminya, dikutip dari situs resmi The Fed.

2.  Pemangkasan Suku Bunga The Fed 2024 Lebih Sedikit

Proyeksi The Fed menunjukkan suku bunga (The Fed Fund Rate/FFR) akan mencapai puncaknya di angka 5,6% pada tahun ini. Suku bunga akan turun hingga 5,1% hingga 2024 dan 3,9% hingga 2025. Suku bunga sekitar 5,1% pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada proyeksi Juni yakni 4,6%.

Dokumen dot plot The Fed menunjukkan jika The Fed cenderung untuk menaikkan suku bunga sekali lagi pada tahun ini sebelum memangkas dua kali pada 2024 atau sekitar 50 bps. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan yang mereka indikasikan pada Juni lalu yakni sekitar 100 bps.

The FedFoto: FOMC participants' assessments of appropriate monetary policy: Midpoint of target range or target level for the federal funds rate
Source: The Federal Reserve

Sikap ini mempertegas posisi The Fed untuk menahan suku bunganya di level yang cukup tinggi dalam waktu yang lebih lama atau higher for longer dan ini bisa berdampak besar ke perekonomian dunia.

"Pesannya sangat terlihat jelas jika revisi ke atas pertumbuhan ekonomi dan merevisi ke bawah tingkat pengangguran pada 2024 adalah indikasi jelas jika The Fed berekspektasi ekonomi akan soft landing meskipun suku bunga tinggi akan bertahan lama," tutur Olu Sonola, analis dari Fitch Ratings, dikutip dari CNBC International.

3. Perlambatan Ekonomi China

Bank Indonesia (BI) melihat ketidakpastian ekonomi global tetap tinggi sehingga pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini diperkirakan masih berada di kisaran 2,7%. Begitu pula dengan China yang diperkirakan akan mengalami perlambatan.

"Perlambatan ekonomi Tiongkok disebabkan oleh pelemahan ekonomi domestik karena keyakinan konsumen utang rumah tangga dan permasalahan sektor properti di tengah penurunan kinerja ekspor mereka di tengah perlambatan ekonomi global," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (21/9/2023).

Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia dan mitra dagang Indonesia, pelemahan yang terjadi di China akan berdampak besar pada permintaan akan barang dari Indonesia akan turun sehingga berpengaruh terhadap produksi manufaktur di dalam negeri.

Ekonomi China hingga kuartal II-2023 masih berhasil tumbuh positif, namun berada di bawah ekspektasi pasar. Ke depan negeri tirai bambu tersebut akan alami banyak tekanan sehingga alami pelemahan signifikan. Hingga akhir tahun beberapa ekonomi memperkirakan ekonomi China tumbuh hanya 4%.

Bahkan proyeksi dari Trading Economics perihal pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China secara tahunan diperkirakan hanya sebesar 4,6% untuk kuartal-III 2024 yang akan dirilis pada 18 Oktober 2023.

4. SBN Dijual Asing, Capital Outflow Meningkat

Dari pasar SBN, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun melambung ke 6,85% pada perdagangan kemarin. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak 21 Maret 2023 atau enam bulan terakhir. Imbal hasil dengan cepat naik dari 6,72% pada Senin pekan lalu menjadi 6,385% pada Selasa kemarin.

Imbal hasil yang menanjak menandai harga SBN tengah jatuh karena banyak investor yang melepas SBN.

Data transaksi BI pada 18-21 September 2023 mencatat bahwa terjadi jual neto Rp1,03 triliun di pasar SBN untuk nonresiden di pasar keuangan domestik. Sedangkan selama tahun 2023, berdasarkan data setelmen s.d. 21 September 2023, nonresiden beli neto Rp75,46 triliun di pasar SBN.

Capital outflow dari SBN Indonesia telah terjadi cukup drastis mengingat sepanjang 2023 hingga akhir Juli 2023, nonresiden beli neto di pasar SBN masih Rp94,52 triliun. Kemudian hingga akhir Agustus mengalami penurunan menjadi hanya Rp84,11 triliun di pasar SBN.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation