
4 Alasan Dibalik Jebloknya Rupiah Pekan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada pekan ini tercatat mengalami pelemahan bersamaan dengan mata uang Asia lainnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah melemah 0,56% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS. Sedangkan pada penutupan perdagangan Jumat (8/9/2023), rupiah terpantau diam ditempat terhadap The Greenback, di mana rupiah ditutup 0,00% di angka Rp15.320/US$.
Adapun dari mata uang Asia, secara mayoritas terdepresiasi melawan The Greenback sepanjang pekan ini. Hal ini juga didukung dengan penguatan yang signifikan dari indeks dolar AS (DXY) yang berada di posisi 105,09 pada pekan ini atau naik 0,82% jika dibandingkan dengan pekan lalu yang berada di angka 104,23.
Baht Thailand menempati posisi terparah dengan depresiasi 1,74% selama pekan ini, lalu disusul oleh won Korea Selatan dengan pelemahan 1,32%, dan yuan China turun sekitar 1,13%.
Pelemahan mata uang Garuda lebih didominasi oleh faktor eksternal dari lonjakan harga minyak dunia, data ekonomi Indonesia, data ekonomi AS, dan data ekonomi China.
Harga Minyak Dunia
Indeks melemah setelah harga minyak terbang ke level US$ 90 per barel. Harga minyak brent ditutup di posisi US$ 90,01 per barel pada Selasa (5/9/2023). Harganya terbang 1,2%. Ini adalah kali pertama minyak brent menyentuh level US$ 90 per barel sejak 16 November 2022 atau hampir 10 bulan terakhir.
Dikutip dari CNBC International, harga minyak melonjak setelah Arab Saudi memutuskan untuk memperpanjang pemangkasan produksi.
Arab Saudi akan memangkas produksi sebesar 1 juta barel per day (bpd) secara sukarela hingga akhir tahun ini. Pemangkasan tersebut akan mengurangi produksi minyak hingga 9 juta pbd pada Oktober, November, dan Desember.
Lonjakan harga minyak dikhawatirkan akan melambungkan kembali inflasi sehingga harapan melihat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) melunak semakin menjauh.
Hal tersebut bisa semakin menekan ekonomi AS yang tengah berjuang dari dampak suku bunga tinggi. Kondisi ini bisa membuat The Fed mempertahankan kebijakan hawkishnya. Artinya, ada ancaman capital outflow di pasar keuangan Tanah Air.
Data Ekonomi AS
Sedangkan dari AS, tercatat ISM Services AS yang melonjak cukup signifikan ke 54,5 pada Agustus mencerminkan jika ekonomi AS masih kencang. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan 52,7 pada Juli serta di atas ekspektasi pasar yakni 52,5.
Lebih lanjut, jumlah pegawai AS yang mengajukan klaim pengangguran mencapai 216.000 pada pekan yang berakhir 2 September. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan ekspektasi pasar yakni 234.000 dan pekan sebelumnya yakni 229.0000.
Data-data tersebut mencerminkan ekonomi AS masih kencang sehingga inflasi bisa sulit ditekan ke depan.
Data Ekonomi China
Beralih ke China, Caixin PMI Manufacturing PMI menunjukkan aktivitas manufaktur China kembali ke fase ekspansif yakni 51 pada Agustus 2023. PMI Agustus menjadi yang tertinggi sejak Februari 2023 atau dalam lima bulan terakhir.
Kabar baik kedua datang dari stimulus China. Tiongkok akan menurunkan uang muka atau down payment untuk pembelian rumah pertama menjadi 20% dan rumah kedua menjadi 30%. Sebelumnya, uang muka rumah pertama minimal 30% dan rumah kedua sebesar 40%.
Kendati sentimen positif tersebut, rilis data ekonomi ekspor dan impor china masih mengalami kontraksi.
China melaporkan ekspor mereka kembali terkontraksi 8,8% (year on year/yoy) menjadi US$ 284,9 miliar pada Agustus 2023 sementara impor mereka terkoreksi sebesar 7,3% (yoy) menjadi US$ 216, 51 miliar.
Artinya, ekspor sudah terkoreksi selama empat bulan beruntun sementara impor terkontraksi selama enam bulan beruntun.
Data Ekonomi Indonesia
Sementara dari Indonesia, cadangan devisa (cadev) Indonesia mengalami penurunan menjadi US$ 137,1 miliar per akhir Agustus 2023. dari US$ 137,7 miliar pada akhir Juli 2023.
Pelemahan ini memberikan dampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan semakin berkurang dengan menurunnya angka cadev.
Namun demikian, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia mengalami kenaikan menjadi 125,2 pada Agustus 2023 dari level terendah dalam empat bulan di bulan Juli sebesar 123,5 pada bulan sebelumnya.
Naiknya IKK mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Alhasil perekonomian Indonesia dapat bertumbuh dengan baik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)