ASEAN Terus Pacu Penggunaan Energi Bersih

- Kebutuhan listrik ASEAN saat ini dipenuhi oleh bahan bakar fosil, khususnya batubara
- ASEAN memiliki berbagai sumber energi terbarukan yang potensial
- Antar negara ASEAN perlu saling bekerjasama untuk mencapai net zero emission
Jakarta, CNBC Indonesia - Kebutuhan listrik di Negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) terus meningkat sejalan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Namun, kebutuhan listrik masih didominasi oleh bahan bakar fosil meskipun ASEAN memiliki potensi besar di bidang energi baru terbarukan (EBT). ASEAN pun masih harus bekerja keras untuk memenuhi target ne zero emission.
Dilansir dari aseanenergy.org, permintaan listrik ASEAN mengalami kenaikan secara rata-rata sebesar 6,3% antara 2008 hingga 2018 karena pesatnya pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berbagai negara bergantung pada bahan bakar fosil. Pada 2020 tercatat bahan bakar fosil menyumbang sekitar 78% pembangkit listrik di ASEAN dengan rincian batubara 44%, gas alam 32%, dan minyak 2%. Sementara pembangkit listrik tenaga air menyumbang 16% dan energi terbarukan lainnya hanya 6%.
Sedangkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2020 tercatat sebesar 656 juta ton CO2e. Penyumbang terbesar emisi GRK yakni Indonesia (32,2%) dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, Vietnam (18,8%), Malaysia (16,7%), Thailand (14%), dan Filipina (10,5%).
Asia Tenggara sangat rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, ASEAN Member States (AMS) berkomitmen untuk melakukan mitigasi perubahan iklim melalui Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC). NDC AMS mencakup strategi untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Ini adalah pilihan yang wajar mengingat kawasan ASEAN dianugerahi energi terbarukan yang signifikan.
Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi terbarukan dan berkurangnya penggunaan bahan bakar fosil, maka emisi GRK akan semakin berkurang dalam beberapa dekade mendatang.
Perangkat Low Emissions Analysis Platform (LEAP) menunjukkan terjadi kenaikan emisi GRK dari 668 juta ton CO2e pada 2020 menjadi 759 juta ton CO2e pada 2029 dan mulai 2030 mengalami penurunan hingga menjadi nol pada 2050.
![]() Source: LEAP results |
Untuk mencapai net zero emission, dibutuhkan implikasi kebijakan yang komprehensif, salah satunya yakni komitmen untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga berbasis batubara. AMS harus memanfaatkan energi terbarukan untuk segera direalisasikan dan dipercepat proses implementasinya.
Selain itu, interkoneksi jaringan listrik ASEAN pun perlu diterapkan. Variasi potensi energi terbarukan di AMS, maka perluasan pertukaran listrik terbarukan di antara mereka akan mendukung mewujudkan sistem ketenagalistrikan untuk mencapai net zero emission.
Hal ini juga akan mengurangi investasi yang dibutuhkan untuk teknologi penyimpanan energi dan meningkatkan keandalan pasokan listrik terbarukan di seluruh wilayah ASEAN.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)