
Bangkit dari Kubur! Rupiah Perkasa Usai 6 Pekan Merana

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Tanah Air yakni rupiah pada pekan ini akhirnya berhasil mencatatkan kinerja yang menggembirakan pada pekan ini, setelah selama enam pekan terakhir mengalami koreksi.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah menguat 0,36% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS. Dengan ini, maka rupiah resmi mengakhiri pelemahan yang sudah terjadi selama enam pekan beruntun.
Namun pada perdagangan Jumat (1/9/2023), rupiah terpantau kalah melawan The Greenback, di mana rupiah ditutup melemah tipis 0,07% di level Rp 15.235/US$.
Adapun dari mata uang Asia, secara mayoritas menang melawan The Greenback sepanjang pekan ini. Kecuali dolar Hong Kong, rupee India, ringgit Malaysia, dan dolar Taiwan.
Sedangkan untuk rupiah, berada di posisi ketiga, kalah dengan won Korea Selatan dan yuan China, tetapi unggul dari yen Jepang, peso Filipina, dolar Singapura, dan baht Thailand.
Melemahnya rupiah di perdagangan akhir pekan ini terjadi setelah data inflasi RI terbaru periode Agustus dirilis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan pada Agustus 2023 mencapai 3,27%. Inflasi ini lebih tinggi dibandingkan inflasi Juli 2023 sebesar 3,08%.
Jika dibandingkan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi, memperkirakan inflasi Agustus 2023 secara tahunan akan menembus 3,36% (year-on-year/yoy). Dengan kata lain, inflasi aktual lebih rendah dibandingkan konsensus pasar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan tingkat inflasi tahunan ini disumbang oleh transportasi yang meningkat 9,65% dengan andil 1,18%.
Posisi kedua ada kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan beras sebagai pendorong. Inflasi beras pada Agustus 2023 tercatat sebesar 0,41% dan rokok kretek filter dengan andil sebesar 0,21%, serta bawang putih 0,08%.
Inflasi (yoy) mengalami kenaikan dibandingkan periode sebelumnya, namun hal ini masih sesuai target Bank Indonesia (BI) untuk inflasi 2023 yakni di kisaran 2-4%.
Gubernur BI Perry Warjiyo pun tetap meyakini rupiah dapat mengalami penguatan khususnya di tahun 2024. Perkiraan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah ditetapkan BI untuk 2024 di kisaran Rp 14.600-Rp 15.100 per dolar AS.
Terdapat tiga hal yang Perry ungkapkan agar rupiah dapat menuju level optimistis Rp 14.600 per dolar AS, yakni potensi DHE yang mampu memperkuat cadangan devisa berkat regulasi dalam PP Nomor 36 Tahun 2023, kedua bilamana suku bunga bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), yakni Fed Fund Rate (FFR) tak lagi naik hingga 2024, serta ketiga yaitu intervensi BI jika diperlukan.
Selain itu, dolar yang cenderung melandai juga diakibatkan oleh data tenaga kerja yang mulai mendingin dan prospek melunaknya sikap The Fed.
Saat ini ekonomi AS mengalami kelesuan dalam beberapa hal. Terbaru, data payrolls ADP menunjukkan pengusaha swasta menambah 177.000 pekerjaan pada Agustus. Jumlah tersebut jauh di bawah angka revisi pada Juli yaitu 371.000. Itu juga meleset dari perkiraan Dow Jones sebesar 200.000.
Di lain sisi, proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2023 direvisi menjadi 2,1% (yoy) dari perkiraan sebelumnya sebesar 2,4%.
Sedangkan jumlah lapangan pekerjaan baru JOLTS turun 338.000 menjadi 8,83 juta pada Juli 2023. Jumlah tersebut adalah yang terendah sejak Maret 2021 dan di bawah ekspektasi pasar sebesar 9,47 juta.
Jumlah warga AS yang mengajukan klaim pengangguran juga turun menjadi 228 ribu pada pekan yang berakhir pada 26 Agustus 2023, dari 232 ribu pada pekan sebelumnya.
Namun hal berbeda dari laporan inflasi Personal Consumer Expenditure (PCE) yang mengalami kenaikan menjadi 3,3% (yoy) pada Juli 2023, dari 3% pada Juni.
Kenaikan PCE ini tentu saja membuat pelaku pasar khawatir. Dengan PCE yang naik maka ada kemungkinan laju inflasi AS masih kencang ke depan. Alhasil, masih ada kekhawatiran bahwa The Fed sulit melunak.
Meski masih ada sedikit kekhawatiran akan prospek kebijakan suku bunga The Fed kedepannya, tetapi pelaku pasar global memprediksi bahwa The Fed akan kembali menahan suku bunga acuannya pada pertemuan bulan ini.
The Fed akan menggelar pertemuan pada 19-20 September ini. Perangkat CME Fedwatch menunjukkan 93% investor yakin The Fed akan menahan suku bunga acuan di 5,25%-5,5% dalam pertemuan September. Sebanyak 7% memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)