Macro Insight

Yakin Nih Pak Jokowi Rupiah Bisa Rp 15.000 di 2024?

rev, CNBC Indonesia
18 August 2023 08:45
Jokowi Bayar Utang RI Sampai Menyusut, Uangnya dari Mana?
Foto: Infografis/Jokowi Bayar Utang RI Sampai Menyusut, Uangnya dari Mana?/Aristya Rahadian
  • Pemerintah mengajukan asumsi nilai tukar di angka Rp15.000/US$ untuk 2024
  • Realisasi nilai tukar rupiah seringkali di atas asumsi APBN
  • Faktor eksternal sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah dibandingkan faktor internal

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengajukan asumsi nilai tukar di angka Rp15.000/US$ dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Dalam nota keuangan dijelaskan alasan asumsi tersebut yakni perbaikan kondisi ekonomi domestik yang akan terus berlangsung dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga. Kinerja dan kondisi pasar keuangan dan modal yang lebih baik mampu terus mendukung kepercayaan asing dan arus modal masuk ke Indonesia.

Pada saat yang sama, perbaikan dan pengembangan kinerja sektor riil dan industri terus membuka peluang masuknya direct investment dan juga peluang bagi kinerja ekspor Indonesia.

Sementara itu, inflasi yang lebih rendah dan terjaga memberikan peluang pelonggaran moneter dan turut mendukung kinerja sektor riil.

Di tengah optimisme pemerintah terhadap rupiah, namun terdapat risiko yang perlu diperhatikan pada 2024, salah satunya yakni pelonggaran kebijakan moneter global yang lebih lambat dari perkiraan.

Pelonggaran moneter tersebut dapat kembali mendorong gejolak arus modal di dalam negeri. Perbaikan ekonomi yang terjadi juga dapat mendorong impor yang besar sehingga mengurangi daya dukung neraca perdagangan dan current account pada posisi Neraca Pembayaran Indonesia. 

Jika melihat data historis, asumsi nilai tukar dalam APBN selalu lebih lemah dibandingkan tahun sebelumnya. Tidak hanya target yang mengalami pelemahan, namun dalam realisasinya, rupiah terdepresiasi melebihi target APBN.

Sejak 2014 hingga 2022, terjadi lima kali realisasi nilai tukar rupiah di atas asumsi yang ditetapkan dalam APBN, yakni pada tahun 2014, 2015, 2018, 2020, dan 2022.

Pada 2023, asumsi nilai tukar dalam APBN ditetapkan Rp14.800/US$1. Sementara pada kenyataannya hingga 16 Agustus 2023, rupiah melemah hingga menembus Rp15.335/US$.

Pada perdagangan hari Selasa (15/8/2023), rupiah sempat menyentuh titik tertingginya Rp15.359/US$. Ini merupakan posisi terlemah sejak hampir lima bulan terakhir.

Faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai rupiah salah satunya yakni kondisi global.

Contohnya adalah pada 2018 terdapat perang dagang antara AS dan China. Pada saat itu, Donald Trump yang menjabat sebagai presiden Amerika Serikat berjanji untuk mengambil tindakan tegas terhadap China yang dianggap telah merugikan Amerika Serikat secara ekonomi dan politik.

Bahkan pada saat itu, defisit perdagangan AS dengan China menjadi masalah utama bagi pemerintah AS. Pada tahun 2018, defisit perdagangan AS dengan China mencapai US$ 419,5 miliar.

Mengingat AS dan China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, maka hal ini berdampak negara-negara di dunia termasuk Indonesia.

Asumsi nilai tukar pada APBN 2018 ditetapkan Rp13.400/US$. Namun, hal ini sangat berbanding terbalik dengan realisasinya yakni Rp14.247/US$.

Begitu pula saat Covid-19 terjadi pada 2020, hal ini berdampak pada depresiasi nilai rupiah terhadap dolar AS. Pandemi membuat kekhawatiran pasar melonjak sehingga terjadi capital outflow besar-besaran dari Emerging Market sehingga mata uang mereka, termasuk rupiah mengalami tekanan hebat.

Data Bank Indonesia (BI) menyebut investor asing tercatat melakukan aksi net sell sebesar Rp 140,01 triliun pada 2020.

Saat pandemi menyebar pada awal Maret 2020, pemerintah juga membatasi mobilitas dan kerumunan masyarakat agar tidak memicu penyebaran virus dan memperbanyak kasus positif bahkan hingga kematian. Kondisi ini membuat ekonomi berhenti sehingga ekonomi mengalami kontraksi.
Kondisi ini ikut menekena rupiah.

Data terbaru World Health Organization (WHO), per 9 Agustus 2023 menunjukkan data kasus kumulatif berada di angka 769.369.823 kasus, sedangkan total kematian berada di angka 6.954.336 orang.

Pada APBN  2020, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditetapkan di angka Rp14.400/US$, sedangkan realisasinya berada lebih lemah dibandingkan target yakni di posisi Rp14.557/US$.

Kondisi krisis menyebabkan para investor global akan lebih tertarik untuk menyimpan kekayaannya dalam bentuk aset yang aman dan menghindari risiko seperti memegang mata uang yang rentan fluktuasi layaknya rupiah.

Dalam The Indonesian Journal of Development Planning yang ditulis oleh Haryanto (Bappenas Republik Indonesia) mengatakan kondisi krisis tentunya akan mendorong mata uang negara-negara berkembang menjadi terdepresiasi terhadap mata uang kuat dari negara maju seperti US$, dan juga berdampak kepada turunnya harga-harga saham negara berkembang termasuk Indonesia.

Cobaan pada rupiah kembali terjadi pada 2023 dalam bentuk kenaikan suku bunga negara maju. Pasca Covid-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina, inflasi AS terbang tak terkendali bahkan sempat menyentuh titik tertinggi 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2023.

Alhasil, suku bunga AS mengalami peningkatan sebesar 525 bps menjadi 5,25-5,50% untuk meredam panasnya inflasi AS. Hal ini berujung pada menguatnya indeks dolar AS (DXY) dan melemahkan mata uang lainnya seperti rupiah.

Hingga 14 Agustus 2023, rupiah berada di angka Rp15.310/US$ sedangkan target pemerintah berada di posisi Rp14.800/US$. Hingga saat ini, tendensi untuk pelemahan rupiah masih ada mengingat masih ada potensi Bank Sentral AS (The Fed) untuk kembali menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 5,50-5,75%.

Namun begitu, Bank Indonesia (BI) tetap memastikan keseimbangan supply-demand terjaga dengan baik, dan untuk memastikan tidak terjadi gejolak nilai tukar yang tinggi, kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation