Pemerintah RI Sempat Ngutang ke Rakyat Buat Modal Pembangunan

- Proklamasi Indonesia dilaksanakan lebih cepat dari rencana membuat pemerintah bisa dikatakan belum siap.
- Sektor ekonomi Indonesia awal kemerdekaan hancur. Kas negara kosong. Perkebunan dan infrastruktur hancur-lebur.
- Dari permasalahan ini, bagaimana cara pemerintah mencari uang untuk modal awal pembangunan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah berita kalahnya Jepang dari Perang Dunia 2 (1939-1945) terdengar oleh masyarakat banyak orang berpikir bahwa kemerdekaan Indonesia akan segera tiba. Soal itu, hanya perlu menunggu waktu yang tepat.
Bagi Sukarno dan Hatta, yang kemudian dikenal sebagai golongan tua, kemerdekaan harus menunggu "arahan" pemerintah Jepang. Sebab sebelumnya Dai Nippon sempat menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945. Terlebih, kemerdekaan juga tidak bisa buru-buru karena butuh persiapan matang yang harus dirancang oleh PPKI bentukan Jepang, dari mulai pendanaan, konstitusi, hingga bentuk pemerintahan dan negara.
Pernyataan ini pada akhirnya memunculkan ketidakpuasan di kalangan anak-anak muda, seperti Sutan Sjahrir, Soekarni, Chaerul Saleh, dan sebagainya. Mereka yang kemudian dikenal sebagai golongan muda ingin proklamasi harus sesegera mungkin. Alias, tidak perlu menunggu Jepang. Tak masalah tanpa persiapan, yang penting Indonesia merdeka terlebih dahulu.
Akan tetapi, Sukarno tetap bergeming. Alhasil, terjadilah penculikan yang dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok dan berbuntut pada lahirnya negara baru bernama Indonesia lebih cepat dan tanpa rencana pada 17 Agustus 1945. Dari sinilah, Indonesia memulai babak kehidupan baru. Namun, menjalani kehidupan baru itu tidak semudah yang dibayangkan. Akibat tanpa perencanaan matang, Indonesia pun terseok-seok menjalani prosesnya.
Sebagaimana ditulis buku Sejarah Nasional Indonesia (2008), kondisi ekonomi awal kemerdekaan sangatlah kacau. Beredarnya mata uang Jepang dalam skala besar berimbas pada hiperinflasi yang membuat harga bahan dasar sangat tinggi. Belum lagi, banyak infrastruktur dan perkebunan yang hancur.
Di masa sulit seperti itu, keadaan makin rumit ketika Belanda datang kembali untuk menguasai Indonesia. Rakyat mau tidak mau harus berperang mengusir Negeri Kincir Angin dan mempertahankan eksistensi negara.
Pertempuran pada akhirnya membuat kondisi makin hancur. Kas negara makin menipis karena perang membuat pengeluaran semakin besar. Terlebih, tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009), Belanda juga dengan sengaja menghancurkan ekonomi Indonesia lewat penyebaran mata uang NICA dan kebijakan blokade yang membuat ekspor-impor terhambat.
Dengan kondisi sulit seperti itu, bagaimana Indonesia mencari uang untuk modal awal pembangunan?
Masih mengutip paparan buku Sejarah Nasional Indonesia (2008), awalnya Indonesia memanfaatkan simpanan emas dan melakukan perdagangan gelap untuk modal awal kemerdekaan. Namun, itu semua tak membuahkan hasil. Pengeluaran yang lebih besar membuat pemerintah putar otak mencari uang.
Akhirnya muncul ide menarik dari Menteri Keuangan Surrachman. Dia mengusulkan pengajuan pinjaman nasional negara kepada rakyat. Usulan itu berupa pinjaman Rp 1 miliar yang harus dikembalikan negara ke peminjam selambat-lambatnya dalam waktu 40 tahun. Singkat cerita, dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, aturan tersebut disetujui dan dibentuk regulasinya dalam UU No.4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional.
Lewat kebijakan itu, seluruh penduduk Jawa dan Madura diharuskan menyetor atau meminjamkan uangnya kepada negara melalui Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Semua itu dilakukan dalam dua tahap. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia (1946) mengisahkan bahwa saat tahap pertama berlangsung rakyat sangat antusias. Mereka berbondong-bondong menyetorkan uangnya demi eksistensi Indonesia.
Hingga akhirnya, pinjaman rakyat ke negara di tahap pertama sukses mengumpulkan Rp 500 juta. Namun, saat tahap kedua akan dilaksanakan, pemerintah Belanda keburu melakukan agresi militer dan menguasai bank sentral Indonesia. Akibatnya, pinjaman nasional tahap kedua gagal karena pemerintah dan rakyat difokuskan untuk berperang.
Direktur Bank Indonesia Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia (1991) menyebut sejak itulah kasus pinjaman nasional tidak lagi terdengar dan tidak jelas nasibnya. Buruknya dokumentasi dan pencatatan, serta riuhnya suasana akibat perang membuat siapa saja yang menyerahkan uangnya ke negara tidak jelas. Dalam keadaan seperti ini negara pun tidak bisa melakukan pengembalian uang.
Kendati demikian, itikad baik pemerintah untuk melunasi utangnya kepada rakyat muncul di tahun 1954. Saat itu, lewat UU No. 26 Tahun 1954 tentang Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946, pemerintah yang kondisi ekonominya lumayan membaik ingin mengembalikan pinjaman rakyat sekaligus tanpa perlu menunggu waktu 40 tahun. Bahkan, untuk membalas budi para peminjam, pemerintah membayarnya sesuai kurs saat itu, sehingga nilainya menjadi lebih besar. Namun, akibat buruknya pencatatan tidak semua peminjam dapat menerima uangnya kembali.
(mfa/mij)