
Yen Tersungkur Tahun Ini, Disengaja atau Nasib Buruk Semata?

- Yen menjadi salah satu mata uang dengan pelemahan terdalam sepanjang tahun ini
- Kebijakan moneter Jepang menjadi salah satu alasan pelemahan yen
- Pelemahan yen bisa mendongkrak nilai ekspor Jepang
Jakarta,CNBCIndonesia -Mata uang Jepang, yen, terus melemah sepanjang tahun ini. Suku bunga ultra rendah dan semakin melambatnya ekonomi Negara Sakura membuat yen semakin ditinggal investor asing.
Merujuk data Refinitiv, mata uang yen sudah tersungkur sebesar 5,14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama dunia, kinerja buruk yen hanya kalah dari pound British yang melemah 7,58%.
Melemahnya mata uang yen bahkan membuat bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) melakukan langkah tak biasa. BOJ melakukan intervensi masif hingga mencapai US$ 12 miliar untuk mencegah yen tidak jatuh semakin dalam.
Secara keseluruhan, BOJ diperkirakan sudah melakukan intervensi sebesar US$ 37 miliar sepanjang tahun ini. Intervensi pada tahun lalu diperkirakan menembus US$ 65 miliar.
Salah satu alasan mengapa yen jatuh sangat dalam adalah keputusan BOJ untuk tetap mempertahankan suku bunga ultra rendahnya. Suku bunga ultra rendah (-0,1%) sudah bertahan sejak 2016 atau tujuh tahun lebih.
BOJ bahkan tetap bersikukuh untuk mempertahankan suku bunga acuan ultra rendahnya di tengah lonjakan suku bunga global.
Seperti diketahui, inflasi di hampir seluruh negara melonjak setelah perang Rusia-Ukraina meletus Februari 2022. Untuk menahan laju inflasi, bank sentral di hampir seluruh negara mengerek suku bunga secara besar-besaran.
Dengan suku bunga yang rendah sementara tingkat suku bunga global merangkak naik maka selisih antara instrumen investasi berdenominasi yen dan dolar AS semakin jauh. Hal ini membuat instrumen investasi berdenominasi yen seperti mata uang yen menjadi tidak menarik. Yen ditinggal investor sehingga nilainya terpuruk.
Bank sentral AS mengerek suku bunga hingga 500 bps menjadi 5,0-5,25% sejak Maret 2022. Bank Indonesia pun menaikkan suku bunga sebesar 225 bps sejak Agustus 2022.
Berbeda dengan negara lain, Jepang justru berkutat dengan inflasi rendah bahkan deflasi. Dalam kondisi inflasi rendah tentu sulit bagi BOJ mengerek suku bunga.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi Jepang juga belum pulih.
Pertumbuhan yang cukup baik sebetulnya pernah terjadi pada kuartal II-2021 saat Jepang keluar dari zona resesi akibat pandemi Covid-19.
Pada kuartal II-2021, ekonomi Jepang berbalik arah dari koreksi -1,1% (year on year/yoy) pada kuartal I-2021 menjadi tumbuh 7,7% (yoy) pada kuartal II-2021. Setelah kuartal II-2021, ekonomi Jepang terus tumbuh positif.
Indeks Harga Konsumen (IHK) juga terus naik dari deflasi atau di kisaran 0% pada 2020-2021 menjadi 4,3% (yoy) pada Januari 2023.
Namun, tidak sedikit yang menilai pelemahan yen Jepang ini memang disengaja untuk mendongkrak ekspor Jepang. Dengan yen yang lebih lemah maka produk Jepang menjadi lebih murah sehingga menjadi lebih menarik.
Produk Jepang pun menjadi bisa bersaing dengan produk pesaingnya seperti China dan Korea Selatan.
Namun, melemahnya ekonomi global membuat ekspor terus tertekan meskipun yen sudah melemah.
Tren penurunan ekspor ini bukan merupakan pertanda baik mengingat Jepang merupakan salah satu pengekspor mobil hingga kendaraan bermotor ke berbagai penjuru negara di dunia. Selain itu, negara-negara yang merupakan tujuan ekspor akan ikut terdampak, seperti AS dan China.
Alhasil, neraca dagang Jepang pun berada dalam kategori defisit sejak pertengahan 2021 hingga Mei 2023. Data terakhir pada Mei 2023 menunjukkan bahwa terjadi trade deficit sebesar JPY 1.381,89 miliar. Dengan kata lain, nilai impor lebih tinggi dibandingkan ekspor.
Secara tahunan pun, data impor Jepang per Mei 2023 mengalami penurunan menjadi 9,8% yang juga melanjutkan pelemahannya pada April 2023 yang berada di angka 2,3%. Padahal berkaca sejak Februari 2021, impor Jepang secara konsisten berada di teritori positif.
l
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)