Ekspor Komoditas Non-Migas Turun 2,15%, Ini Emitennya?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
04 July 2023 12:40
Bank Indonesia (BI) memprediksi neraca pembayaran Maret 2014 surplus pada kisaran US$ 500 juta. Surplus ini didorong peningkatan ekspor non migas, yang telah terjadi beberapa bulan terakhir.
Foto: Agung Pambudhy

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mengalami penurunan ekspor utama komoditas Nonmigas selama Januari-April 2022 dan 2023, senilai 2,15%, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini dapat menjadi dasar untuk investor melihat potensi pertumbuhan pendapatan emiten-emiten pengekspor produk dalam ruang lingkup tersebut.

Dari 15 kategori produk ekspor utama non migas, tujuh diantaranya mengalami penurunan secara jumlah ekspor. Berikut adalah kategori daftar komoditas dan emiten yang melakukan ekspor produk tersebut.

Penurunan ekspor komoditas terbesar berasal dari komoditas minyak kelapa sawit. Tingginya harga komoditas sawit pada periode yang sama tahun lalu menjadikan adanya penurunan harga.

Seperti diketahui, harga sawit di 2022 berada pada kisaran harga MYR 4.993-7.104 per ton periode Januari-April, berdsarkan data TradingEconomics. Periode yang sama pada tahun ini, harga sawit turun berada pada kisaran MYR 3.338-4.052 per ton.

Hal ini menandakan adanya penurunan harga, sehingga nilai ekspor menurun. Sehingga, mayoritas emiten eksportir CPO  juga mengalami penurunan pendapatan secara tahunan.

Secara persentase, penurunan terbesar berasal dari ekspor karet remah atau crumb rubber. PT Kirana Megatara Tbk (KMTR) sebagai salah satu eksportir karet remah terbesar pun terdampak dengan penurunan pendapatan 24,7%.

Di tengah penurunan total ekspor komoditas, batu bara sebagai komoditas andalan dengan kontribusi terbesar masih mampu bertumbuh 10,72% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Penurunan harga komoditas batu bara secara year to date (YTD) masih belum menurunkan nilai ekspornya secara tahunan. Hal tersebut disebabkan rata-rata harga jual batu bara masih mengalami peningkatan 15,1% secara tahunan, menurut data olahan dari Refinitiv.

Selain itu, terdapat faktor eksternal dari kebijakan pemerintah pada Januari 2022 terkait pelarangan ekspor si 'emas hitam'.

Di sisi lain, komitmen pemerintah dalam melakukan hilirisasi nikel sudah membuahkan hasil. Nikel sebagai komoditas ekspor terebesar ke-6 secara nilai FOB (Free on Board) bertumbuh 87,47% (YoY).

Berdasarkan hal tersebut, investor dapat memperhatikan data-data eksternal untuk melihat kinerja secara makro dari suatu industri. Perbandingan antara pertumbuhan kinerja perusahaan dengan data secara makro ini dapat menjadi acuan untuk melihat lanskap secara besar, performa perusahaan dibanding industri, dan prospek secara keseluruhan.

Selain itu, metode ini juga dapat dijadikan acuan analisis secara top-down untuk mengetahui sektor yang sedang diuntungkan, bahkan investor dapat memproyeksi sebelum perusahaan tersebut merilis laporan keuangannya.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(mza/mza)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation