
Triple Crisis Di Depan Mata! Semua Harap Waspada

Dunia gelap, perfect storm yang pernah dikemukakan Presiden Joko Widodo tahun lalu tampak mulai menjadi kenyataan, dan bahkan yang mungkin terjadi lebih mengerikan. Tiga krisis berbahaya ini juga sudah diingatkan Presiden RI 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono pada sebuah cuitannya di media sosial akhir tahun lalu. |
Jakarta, CNBC Indonesia - Aura kekhawatiran tak dapat disembunyikan dari wajah-wajah pejabat tinggi institusi keuangan, pada sebuah perjamuan makan tertutup yang dihadiri segelintir orang penting, pengambil keputusan di Jakarta beberapa waktu lalu. Salah satu angka yang membuat para pejabat publik itu gusar adalah kenaikan imbal hasil atau yield obligasi atau surat utang pemerintah Amerika Serikat yang tak wajar.
Apa yang dipaparkan para pejabat dengan raut muka serius itu pada dasarnya adalah penjabaran dari kesimpulan singkat yang dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa hari sebelumnya dengan kalimat; "Saya ingin mengatakan bahwa dunia tidak dalam situasi yang baik-baik saja," kata Sri saat Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 di kantornya, Jakarta, Senin (22/5/2023)
Harga obligasi pemerintah AS (US Treasury Bills) adalah standar paling utama untuk mengukur tingkat kesehatan keuangan dunia. Ia adalah aset paling aman dan acuan di dunia finansial, setelah emas dan tentu saja uang tunai. Bila yieldnya naik atau berarti harga turun, maka sama saja dapat ditafsirkan kepercayaan investor terhadap pemerintah AS mulai menurun, mereka mulai menyelamatkan diri masing-masing dari kerugian.
Yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun terus melonjak 88 basis points sejak 4 Mei ke level 4,59% pekan lalu, sementara yang jatuh tempo 10 tahun terus naik 44 bps sejak 11 Mei ke level 3,82%. Kenaikan yield pada dasarnya hal lumrah yang terjadi di pasar obligasi AS, banyak faktor yang memicunya, tapi kali ini kenaikan yields hanyalah puncak gunung es dari segunung masalah dibawahnya.
Pemicu utamanya adalah kekhawatiran investor global bila pemerintah AS gagal bayar atau defaultmembayar utangnya yang menggunung. Jadi, AS adalah salah satu contoh negara yang hidup gali lobang tutup lobang, untuk membiayai ekspansi fiskal dan bayar cicilan utang, hal yang lumrah dilakukan negara modern, seperti juga Indonesia. Setiap tahun, anggaran negara pemerintah AS itu tekor (penerimaan lebih kecil dari belanja) atau defisit anggaran, sehingga harus menambah utang baru rata-rata US$1 triliun setiap tahun sejak 2001.
Nah, agar pemerintahannya tidak semena-mena berutang, kongres atau DPR AS menetapkan apa yang disebut sebagai pagu utang maksimal (debt ceiling). Masalahnya sekarang, jumlah utang publik mereka sudah mentok pada aturan itu, mencapai US$31,4 triliun-kalau dirupiahkan kira-kira Rp471 ribu triliun. Untuk bisa berhutang lagi pemerintah AS kudu melobi kongres untuk menaikkan pagu. Sekadar gambar, rasio utang terhadap PDB AS itu mencapai 129%, artinya jumlah utang mereka sudah lebih besar dari nilai perekonomiannya setahun. AS nomor kesebelas untuk rating ini, nomor satunya Jepang setara 262%.
Problem peliknya adalah kongres AS itu dikuasai oleh Partai Republik yang enggan menaikkan pagu utang. Alasan mereka, program yang akan dibiayai dari utang baru yang diajukan Presiden Joe Biden, dari Partai Demokrat, bernuansa populis-politis dan tidak benar-benar untuk kepentingan publik. Utang baru hanya untuk kepentingan Biden meraih popularitas agar menang pada pemilihan presiden AS November 2024. Jadi, istilah kata ini saling jegal antara Partai Republik vs Partai Demokrat dalam kontestasi Pilpres 2024.
Kali terakhir pagu utang AS dinaikkan kongres itu pada Desember 2021. Dampak bila pagu tidak dinaikkan, atau pemerintah AS tidak bisa berhutang lagi antara lain ditutupnya pelayanan publik dan yang paling bahaya adalah tidak bisa membayar cicilan utang. Bila yang kedua ini terjadi, di pasar obligasi disebut sebagai gagal bayar. Rating obligasi AS turun dan kepercayaan investor terhadap AS akan runtuh. Gagal bayar akan berdampak pada seluruh perekonomian dunia, karena itu berarti, investor yang berinvestasi di surat utang pemerintah AS juga tidak bisa membayar keuntungan pada kliennya. Ini akan seperti kanker, efeknya menyebar cepat ke seluruh sistem keuangan dunia.
Fitch, salah satu darithe big threelembaga pemeringkat internasional Moody's dan S&P memberi peringkat surat utang pemerintah AS "AAA" dalam rating pengawasan negatif. Ini sinyal mereka akan memangkas rating surat utang pemerintah AS bila kongres dan pemerintah AS deadlocksoal pagu utang. Pada 2011, S&P pernah menurunkan rating untuk AS menjadi AA+ dan tak pernah menaikkannya lagi hingga kini.
Problem kedua, terlepas dari kisruh internal kongres AS dan pemerintahan Biden, adalah minat investor global drop sehingga mulai melego kepemilikannya di obligasi pemerintah AS. Dua pembeli terbesarnya, Jepang dan China yang menggenggam US$1,95 triliun atau sekitar 25% obligasi pemerintah AS yang dimiliki investor global diam-diam menjualnya secara perlahan. Secara total ada US$7,4 triliun surat utang pemerintah AS yang digenggam investor non residen AS dari total US$31,4 triliun.
Kabar dari Jepang, investor-investor kakap pembeli surat utang pemerintah AS, seperti asuransi mulai resah dengan rencana Bank of Japan beralih dari kebijakan uang murah, atau suku bunga rendah dan bahkan negatif yang telah diterapkan sejak 2016. Kini, bank sentral negeri sakura ini beralih acuan pada apa yang disebut sebagai kontrol yieldobligasi negara untuk mengatasi inflasi. Dampaknya, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang naik dan lebih menarik, sehingga investor melego surat utang pemerintah AS untuk beralih membeli obligasi pemerintah Jepang. Selain itu, hedging cost atau biaya lindung nilai investasi pada aset dolar AS semakin mahal.
Adapun China, para investor yang berinvestasi di pasar surat utang pemerintah AS mulai ketakutan dengan berbagai perang sanksi antara pemerintah AS dan China. Kepemilikan investor asal China di obligasi pemerintah AS turun pada Januari lalu menjadi US$859 miliar, penurunan bulanan dalam sembilan bulan berturut-turut. Kepemilikan China pada US Treasury bills adalah terendah sejak Mei 2009 atau pasca krisis global 2008.
Jeroan Bobrok Perbankan AS
Alarm bahaya dari pasar obligasi AS ini baru satu indikator yang menunjukkan mesin utama perekonomian dunia sedang sangat tidak sehat. Kalaulah masalah pagu utang itu kelar, masih ada krisis perbankan AS yang secara senyap pelan-pelan menggerogoti sistem keuangan AS. Pada 1 Mei lalu, nyawa First Republic Bank (FRB) tak tertolong. Bank ini menjadi bank ketiga yang kolaps setelah Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank yang tumbang pada Maret lalu.
Beberapa riset akademik menyebut, neraca bank-bank di AS di atas kertas sudah tekor. Neraca seluruh bank di sana kedapatan mengalami unrealised lossesatau kerugian buku antara US$1,7 triliun hingga US$2 triliun, hanya sedikit di bawah nilai modal ekuitas seluruh sistem perbankan AS yang senilai US$2,2 triliun pada akhir 2022. Patut dicatat, ada US$9 triliun simpanan warga AS di bank yang tidak dijamin lembaga penjamin simpanan, sehingga yang terjadi amat mengerikan bila bank-bank gagal bayar.
Pemicu utama banyaknya bank gagal di AS adalah kebijakan 'kaca mata kuda' suku bunga tinggi oleh bank sentral AS, the Fed untuk memerangi inflasi. Fed tak peduli, dan sepertinya salah kalkulasi. Fed tergesa-gesa dan terlalu tinggi menaikkan suku bunga acuan. Sejak Maret 2022, Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak 10 kali berturut-turut, kenaikan paling agresif rezim bank sentral AS sejak 1980-an. Ini diperparah dengan obral surat utang pemerintah AS oleh the Fed, stok warisan buybacksejak krisis 2008 yang memenuhi neraca Fed hingga US$8,5 triliun. Istilah keren nya, quantitative tighteningyang intinya menyedot likuiditas atau uang dari sistem keuangan ke bank sentral.
Bagaimana dua kebijakan Fed ini justru merusak sendiri sistem perbankannya sendiri? Begini ceritanya; Saat pandemi Covid-19 dari 2020-2022, the Fed menerapkan kebijakan suku bunga rendah, nyaris nol %, plus quantitative easingatau beli obligasi di pasar. Niatnya menstimulasi perekonomian khususnya sektor usaha yang sekarat akibat pandemi dengan memompa likuiditas atau uang lebih banyak ke sistem keuangan.
Namun, yang terjadi pandemi membuat sektor riil atau usaha seret sehingga permintaan kredit bank loyo. Pebisnis ogah berekspansi, apalagi buka usaha baru. Di saat yang sama, bank-bank medioker itu kebanjiran dana simpanan karena masyarakat lebih memilih menabung dan irit karena situasi Covid. Ini membuat bank kesulitan menempatkan dananya, sehingga mayoritas menggunakan duit simpanan masyarakat untuk membeli surat utang pemerintah AS jangka panjang yang aman. Ini agar mereka bisa tetap membayar bunga simpanan, serta membayar penarikan dana nasabah karena tohsurat utang pemerintah AS itu likuid, gampang dijual di pasar sewaktu-waktu dibutuhkan.
Ini adalah praktik lumrah perbankan, di Indonesia juga demikian. Sampai dengan era suku bunga rendah sampai Maret 2022, situasinya oke-oke saja. Namun, sejak Fed menaikkan suku bunga secara agresif bank-bank itu kelimpungan, sebab nilai surat utang yang mereka beli drop. Ini adalah keniscayaan teori dan praktik obligasi, dimana suku bunga acuan naik akan diikuti yield obligasi-yang berarti harga jatuh. Pada saat yang sama, suku bunga tinggi membuat warga AS berbondong-bondong menarik duitnya dari tabungan bank untuk menempatkan pada instrumen investasi lain yang memberikan keuntungan lebih besar.
Bom waktu pun meledak. Bank-bank terpaksa melego surat utang pemerintah AS dengan harga yang lebih murah dibandingkan saat membeli. Semata-mata terpaksa guna melayani penarikan duit nasabah. Inilah yang terjadi pada Silicon Valley Bank yang kolaps kehabisan uang pada Maret lalu dimana mereka merugi US$1,8 miliar setelah terpaksa melego US$21 miliar aset kertasnya, dan ini hanya satu situasi dari yang dihadapi 4000 bank-bank kecil di AS.
Apa yang terjadi perbankan AS saat ini adalah dejavukrisis perbankan di Indonesia pada 1997. Yakni, mismatchpengelolaan dana. Bank menempatkan dana pihak ketiga yang bertenor pendek pada instrumen investasi jangka panjang. Sementara, situasi kenaikan suku bunga mendadak ini mirip dengan kejadian krisis global 2008, era suku bunga rendah selama 18 tahun yang diterapkan Alan Greenspan, Gubernur the Fed berakhir pada 2006. Selama era itu suku bunga rendah membuat pasar properti AS meroket, semua orang mengambil Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) secara asal-asalan karena suku bunga rendah. Satu orang bisa memiliki dua-tiga KPR meski penghasilannya pas-pasan, atau disebut dengan subprime mortgage.
Sewaktu Ben Bernanke menggantikan Greenspan, ia menerapkan kebijakan suku bunga tinggi untuk menghalau inflasi. Yang terjadi, suku bunga cicilan KPR ikut melonjak dan jutaan debitur tak bisa membayar cicilan, penyitaan rumah dimana mana. Ini menjadi awal bencana krisis 2008, karena akad-akad KPR itu oleh bank-bank AS terlanjur dibundling menjadi produk investasi baru bernama mortgage backed securities (MBS, di Indonesia disebut KIK EBA) yang diperjualbelikan antar bank dan nasabah. Akhirnya, saat ujung dari skema derivatif itu gagal bayar, seluruh sistem keuangan juga gagal. Menariknya, saat ini tingkat suku bunga KPR di AS sudah melampaui saat krisis 2008, di atas 7%.
Kabar buruk tidak hanya datang dari Negeri Paman Sam. Nun jauh disana, di benua biru Jerman melaporkan perekonomiannya kontraksi atau minus 0,3% pada kuartal pertama tahun ini, melanjutkan tren buruk kontraksi pada kuartal yang sama 2022. Jerman adalah mesin utama perekonomian Eropa, dan secara teknikal bila kuartal II ini juga kontraksi, maka Jerman akan menyeret Eropa ke jurang resesi.
Inflasi Jerman mencapai 7,2% di April, di atas rata-rata negara di Eropa tapi lebih rendah dari Inggris, 8.7%. Rakyat Jerman dan seluruh negara-negara di Eropa sedang susah, semua harga naik terutama pengeluaran energi akibat perang Rusia dan Ukraina yang tidak berkesudahan membuat pasokan energi tersendat, termasuk juga pangan seperti gandum, bahan utama pembuat roti. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi PDB Jerman akan menjadi yang terlemah tahun ini, minus 0,1%.
Satu-satunya harapan datang dari China. Perekonomian negara tirai bambu ini harapkan IMF tumbuh 5,2%, dan diproyeksikan untuk mampu berkontribusi pada sepertiga pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari sejumlah situasi terkini, tampaknya ramalan 'Mr. Kiamat' julukan untuk ekonom top dunia, Nouriel Roubini, profesor ekonomi New York University patut diperhitungkan. Pandangan menyeramkannya tentang masa depan ekonomi global ini disampaikan Roubini pada artikel di Majalah Time, dengan judul agak spektakuler; "We're Heading for a Stagflationary Crisis Unlike Anything We've Ever Seen" terbit Kamis (13/10/2022) .
Roubini pernah jitu memprediksi krisis global 2008, yang dikemukakannya pada 2007 dimana masalah sepele KPR di AS akan menjadi krisis besar. Sekarang, dia meramal normalisasi kebijakan moneter yang cepat dan kenaikan suku bunga di seluruh dunia akan mendorong rumah tangga, perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah ke dalam kebangkrutan dan gagal bayar utang. Sebab beban utang cukup besar, rasio utang swasta dan publik terhadap PDB dunia telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun 2022.
Gelembung di sektor-sektor ekonomi mulai kempis di mana-mana, termasuk ekuitas publik dan swasta, real estate, perumahan, saham-saham meme, pasar kripto, bisnis merger dan akuisisi, obligasi dan instrumen kredit lainnya. Kekayaan aset riil dan finansial telah merosot, dan utang serta rasionya meningkat.
Dalam bayangan Roubini, perfect stormnyaadalah sesuatu yang belum pernah ditemui pada krisis-krisis dunia sebelumnya. Pada krisis 1970-an, stagflasi (pertumbuhan ekonomi lambat tapi inflasi tinggi) tidak dibarengi dengan krisis utang karena jumlah utang waktu itu rendah. Pada krisis global 2008, ledakan krisis utang dunia tidak dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi. Sekarang, yang mengancam dunia adalah kedua-duanya, atau kombinasi antara krisis stagflasi 1970-an dengan krisis utang global 2008. Utang jumbo plus inflasi tinggi; Double, combo!
Krisis Pangan dan Kelaparan
Krisis kedua yang hendak terjadi adalah kelangkaan pangan. Salah satunya ada analisis Fitch Solutions bila produksi beras tahun ini di proyeksi paling rendah dalam 20 tahun terakhir, sehingga akan menciptakan kelangkaan pasokan beras, makanan bagi 3,5 miliar penduduk dunia yang 90% diantaranya hidup di Asia Pasifik. Terjadi defisit beras, yang mendorong harga beras di pasar internasional melambung.
Diprediksi selisih antara konsumsi dan produksi hingga 8,7 juta ton, angka defisit beras terbesar sejak 2003. Produksi China, produsen beras terbesar di dunia terganggu oleh cuaca hujan besar dan banjir terparah dalam 20 tahun terakhir. Nasib yang sama dialami Pakistan, yang merepresentasikan 7,6% perdagangan beras dunia, produksinya merosot hingga 31%.
Namun, proyeksi defisit beras Departemen Pertanian AS lebih rendah. Produksi beras global tahun ini diperkirakan mencapai 520,5 juta ton. Sementara jumlah konsumsi dunia diproyeksikan mencapai 523 juta ton, naik 1,5 juta ton dari tahun sebelumnya dengan kenaikan permintaan tertinggi dari Afrika Selatan. Alhasil, ada tekor 2,5 juta ton sehingga mengakibatkan cadangan beras dunia kembali merosot dalam tiga tahun berturut-turut menjadi 166,7 juta ton, terendah sejak 2017.
Rendahnya pasokan telah memicu lonjakan harga beras internasional dan akan berdampak besar pada negara-negara pengimpor beras seperti Indonesia, Filipina, Malaysia dan sejumlah negara di Afrika. Indonesia sendiri membutuhkan impor sebanyak 2 juta ton tahun ini, dan dengan situasi kelangkaan pasokan di pasar internasional belum tentu kebutuhan itu akan terpenuhi.
Komoditas pangan lain yang juga terancam langka tahun ini adalah gandum, bahan baku utama terigu. Peran Rusia-Ukraina yang masih berlangsung membuat pasokan gandum dunia merosot, dimana produksi gandum Ukraina diprediksi merosot hingga 50% dibandingkan sebelum perang. Baik Rusia maupun Ukraina adalah produsen top dunia untuk komoditas pangan seperti gandum dan barley sejenis biji-bijian padi sebelum perang meletus Februari 2022.
Ramalan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sekitar 20-30% lahan gandum di Ukraina tidak bisa dipanen karena petaninya tidak memiliki bahan bakar. Ini merupakan kabar buruk bagi Indonesia yang merupakan importir gandum terbesar dunia, sebanyak lebih dari 10 juta ton pada 2020.
Bank Dunia bilang perang Rusia-Ukraina paling bertanggungjawab terhadap kenaikan harga pangan, dengan inflasi di atas 5% di lebih dari 80% negara berpendapatan rendah. Ekspor yang tersendat dari Ukraina, tidak hanya berdampak pada pangan melainkan juga kenaikan harga energi dan pupuk. Menurut perhitungan, tim penelitian dari Universitas Edinburgh yang dirilis Februari lalu, akan ada korelasi antara tambahan 1 juta kematian baru akibat kelaparan di Timur Tengah, Afrika sub-Sahara, dan Afrika Utara jika harga pupuk tinggi berlaku tahun ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri baru baru ini menyebutkan 345 juta orang di dunia terancam kelaparan akibat krisis pangan. "Hati-hati di sektor ini (pertanian) juga sekarang ini sangat rawan. Kita tahu krisis pangan di mana-mana 345 juta orang di dunia terancam kekurangan pangan dan kelaparan karena perubahan iklim karena perang," kata Jokowi di Pencanangan Pelaksanaan Sensus Pertanian 2023, Senin (15/5).
Krisis Keamanan Dunia
Ancaman perang nuklir dil laga Rusia vs Ukraina bukanlah isapan jempol semata. Perang yang sudah memicu krisis pangan ini berpotensi besar menjadi krisis keamanan dunia. Pemicunya, Rusia mulai kesal dan marah dengan tindakan barat, yang di komando AS dan sekutunya NATO yang terus menerus memberikan back-uppersenjataan pada Ukraina. Banyak analis geopolitik percaya, perang antara dua tetangga itu akan berlangsung lama.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov mengatakan manuver AS dan NATO ini telah membawa kedua kubu dalam perang 'hibrida'. Maksudnya, Russia sama saja berperang dengan mereka, Ukraina hanyalah boneka. "Kebijakan AS dan NATO untuk memicu konflik di Ukraina dan peningkatan keterlibatan mereka dalam konfrontasi militer penuh dengan bentrokan militer langsung dari kekuatan nuklir," tegasnya dalam forum konferensi PBB tentang perlucutan senjata yang dikutip CNBC International, Jumat (3/3/2023).
Kemarahan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak main-main, dan ancaman memencet tombol bom nuklir bukalah gertak sambal. Putin sudah memilih untuk menangguhkan perjanjian pengurangan senjata nuklir START (for Strategic Arms Reduction Treaty) yang dibuat dengan AS, sebagai tanggapan keras atas tindakan Washington dan NATO di Ukraina.
Jauh sebelum itu, ancaman perang nuklir bisa terjadi didengar langsung oleh Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto. "Waktu saya bertemu, saya memperkenalkan diri. Kalimat pertama Putin adalah 'tolong sampaikan ke Presiden Jokowi bahwa Rusia tidak mempertimbangkan menggunakan senjata nuklir'," ujar Andi. "Kalimat keduanya, 'tapi jika ada serangan udara ke wilayah Rusia, kami mempertimbangkan menggunakan senjata nuklir'," lanjutnya menceritakan pertemuannya dengan Putin 2022 lalu.
Rusia dan AS adalah pemegang kendali 90% senjata nuklir dunia. Dalam catatan Buletin Peneliti Atom pada Januari 2023, Negeri Paman Sam memiliki 3.708 hulu ledak nuklir. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.770 hulu ledak dikerahkan, sementara sekitar 1.938 disimpan sebagai cadangan. Di sisi lain, Rusia memiliki jumlah senjata nuklir yang lebih banyak. Pada Oktober lalu, lembaga yang sama menyebutkan Negeri Beruang Putih memiliki 4.447 hulu ledak nuklir.
Selain kengerian dampak ledakan, daya rusaknya yang lima kali lipat lebih dahsyat dari bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, para ahli mengatakan perang nuklir akan berdampak pada kerusakan parah iklim yang bisa memicu miliaran orang mati. Saintis menyamakan yang terjadi bisa seperti dampak letusan gunung Tambora, di Indonesia pada 1815 yang dikenal sebagai erupsi gunung merapi terbesar dalam sejarah dan membuat sinar matahari tertutup debu berbulan-bulan. Ini mengakibatkan gagal panen di seluruh dunia dan kelaparan dimana mana.
Para peneliti memperkirakan perang nuklir akan menyuntikkan antara 5 juta hingga 150 juta ton jelaga ke atmosfer. Hitungan mereka, hasil perubahan sinar matahari, suhu, dan curah hujan yang kemudian dimasukkan ke model output tanaman dan perikanan menunjukkan dampak mengerikan. Dampak bencana kelaparan yang dimodelkan dengan kehilangan kalori, akibat panen gagal dari beberapa tahun setelah perang nuklir antara Amerika Serikat, sekutunya, dan Rusia, bila itu terjadi, adalah hilangnya kalori global hingga sekitar 90%, atau setara menyebabkan sekitar 5 miliar orang tewas akibat kelaparan.
Supporting researcher: Putu Agus, Maesaroh, Aulia Mutiara, Tasya Natalia Pangestika, Aulia Akbar
(mum/mum)