Newsletter

Amerika Hadapi Ujian Berat, Waspada RI Ikut Gojang-ganjing!

Tri Putra, CNBC Indonesia
10 April 2023 06:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • IHSG melemah pada pekan lalu kendati asing melakukan pembelian bersih (net buy) Rp1,92 triliun, sedangkan rupiah malah berhasil perkasa di hadapan dolar.
  • Wall Street mixed di tengah investor mencerna data tenaga kerja.
  • Data cadangan devisa RI, musim laporan keuangan perusahaan AS, hingga inflasi Negeri Paman Saham jadi perhatian investor pekan ini. Data tenaga kerja yang masih kuat jika ditambah dengan inflasi yang sulit turun akan membuat pasar bingung ke mana arah kebijakan moneter The Fed, pasar finansial bisa gonjang-ganjing lagi.

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah dan meninggalkan level psikologis 6.800. Berbeda, mata uang rupiah melanjutkan kinerja impresifnya melawan dolar Amerika Serikat (AS) di periode yang sama.

IHSG rawan tertekan pada perdagangan hari ini karena sejumlah sentimen. Selengkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Indeks acuan Tanah Air tersebut tercatat melemah 0,39% ke 6.792,76 pada perdagangan Kamis (6/4/2023). Dalam sepekan, IHSG melemah 01,8%. Dalam empat hari perdagangan, lantaran ada libur Jumat Agung, IHSG masing-masing menguat dan melemah dua kali.

Kendati melemah, investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1,9 triliun, dan jika ditambah dengan pasar negosiasi dan tunai nilainya bertambah menjadi Rp 2,5 triliun.

Secara umum, pelaku pasar menanti rilis data tenaga kerja AS versi pemerintah yang dirilis Jumat lalu (7/4).

Data tersebut merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneternya. Data yang dirilis Jumat pekan lalu menunjukkan pasar tenaga kerja masih kuat.

Sepanjang Maret perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap 236.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls), sejalan dengan ekspektasi analis.

Sementara, rupiah melanjutkan kinerja impresifnya melawan dolar Amerika Serikat (AS) pekan lalu.

Melansir data Refinitiv, rupiah tercatat menguat 0,53% ke Rp 14.910/US$. Rupiah kini sudah menguat 4 pekan beruntun dengan total 3,5%.

Tidak hanya itu, rupiah juga menjadi mata uang terbaik Asia sepanjang tahun ini dengan penguatan 4,4%, dan menjadi yang terbaik ke-enam di dunia.

Rupiah mulai menguat setelah Silicon Valley Bank (SVB) kolaps di Amerika Serikat. Hal ini membuat The Fed diprediksi tidak agresif lagi dalam menaikkan suku bunga.

Pasca rilis data tersebut, indeks dolar AS yang sebelumnya menguat langsung berbalik turun.

Namun, di sisi lain inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang sulit turun membuat pasar kembali memprediksi bank sentral AS (The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga pada Mei.

Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch yang menunjukkan adanya probabilitas sebesar 54,8% suku bunga akan dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 5% - 5.25%.

Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) di awal pekan ini melaporkan inflasi Maret 2023 yang bertepatan dengan Ramadan kali ini terpantau lebih rendah dalam dua tahun terakhir. Hal ini dimungkinkan karena turunnya inflasi harga bergejolak pada bulan Maret lalu.

Inflasi pada Maret 2023 mencapai 0,18% (month-to-month/mtm), lebih rendah dibandingkan 0,40% pada 2022 dan 0,32% pada 2021.

Jika dilihat secara tahunan, inflasi Maret sebesar 4,97% (yoy) lebih rendah dari inflasi Ramadan tahun 2022 yang mencapai 5,47%.

Inflasi bulan lalu juga lebih rendah dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Maret 2023 akan menembus 0,29% dibandingkan (mtm), dan 5,15% (yoy)

Dari catatan BPS, inflasi inti secara tahunan terus mengalami penurunan. Inflasi inti per Maret 2023 mencapai 2,94% dari bulan sebelumnya 3,09%.

Inflasi yang rendah menjadi kabar baik, daya beli masyarakat akan lebih kuat, dan bisa membuat roda perekonomian lebih kencang.

Hal ini tentunya memberikan sentimen positif bagi rupiah.

Tiga bursa Amerika Serikat (AS) kompak mengakhiri perdagangan Kamis di zona hijau. Seperti di Tanah Air, Wall Street ditutup pada Jumat (7/4) untuk peringatan Jumat Agung.

Pada perdagangan Kamis (6/4/3023), indeks Dow Jones menguat tipis 2,57 poin atau 0,01% ke 33.485,29.

Indeks Nasdaq menanjak 0,76% atau 91,1 poin ke posisi 12.087,96 dan indeks S&P 500 terapresiasi 14,64 poin atau 0,36% ke 4.105,02.

Sepanjang pekan lalu, indeks Dow Jones menguat 0,6% tetapi indeks S&P 500 melemah 0,1% dan indeks Nasdaq jatuh 1,1%.

Beberapa saham yang terbang adalah Alphabet INC (GOOGL.O) yang melonjak 3,8% dan Microsoft melonjak 2,6%. Sebaliknya, saham Caterpillar jatuh 2%.

Salah satu penggerak utama bursa Wall Street adalah data tenaga kerja Amerika Serikat.

Data terbaru menunjukkan jika klaim pengangguran justru turun. Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran berkurang 18.000 menjadi 228.000 pada pekan yang berakhir pada 1 April 2023.

Jumlah tersebut sebenarnya di atas ekspektasi pasar yakni berkisar di 200.000. Salah satu penyebabnya adalah adanya revisi data yang disesuaikan.

Ada revisi ke atas jumlah klaim pengangguran sekitar 48.000 pada pekan sebelumnya menjadi 246.000. AS melakukan penyesuaian perhitungan dari 2018 dan setiap revisi biasanya menghasilkan perhitungan yang lebih tinggi.

Lebih sedikitnya klaim menunjukkan jika data tenaga kerja AS mungkin tidak akan 'mendingin' secepat dugaan orang meskipun data sebelumnya justru menunjukkan pemburukan.

Data tenaga kerja yang keluar pada Rabu (5/4/2023) menunjukkan jika tambahan pekerja baru atau penciptaan lapangan kerja di sektor swasta di AS hanya bertambah 145.000 pada Maret 2023.

Jumlah tersebut turun dari 261.000 pada Februari 2203 serta jauh di bawah ekspektasi pasar yang berkisar 210.000.

Sementara itu, lapangan kerja (JOLTS) pada Februari 2023 menunjukkan lapangan pekerjaan baru yang terbuka hanya 9,93 juta.

Jumlah tersebut anjlok 632.000 dibandingkan Januari 2023.

Ini adalah kali pertama jumlah lapangan kerja baru hanya tercatat 10 juta dalam dua tahun terakhir. Jumlah lapangan kerja baru juga jauh di bawah ekspektasi pasar yang berada di angka 10,4 juta.

Data-data tersebut menjadi sinyal ada pelemahan ekonomi AS. Artinya, ada peluang bagi bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk melunak.

Ekspektasi pasar kini menunjukkan 40% pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan Mei mendatang. Sebanyak 60% atau mayoritas melihat The Fed akan menahan suku bunga.

"Pasar sepertinya sedang memutuskan dan mempertimbangkan mana yang lebih berat dan menentukan, apakah pertumbuhan dan resesi atau kenaikan suku bunga The Fed," tutur Ross Mayfield, analis Baird in Louisville, dikutip dari Reuters.

Di satu sisi, melandainya pasar tenaga kerja bisa menjadi kabar baik karena menunjukkan inflasi AS sudah melemah. Harapan The Fed melunak pun terbuka.

Di sisi ain, melandainya pasar tenaga kerja menunjukkan perlambatan ekonomi tengah berjalan sehingga ancaman resesi mengintai AS.

Hal ini tentu saja tidak baik bagi banyak perusahaan karena bisa menggerus keuntungan.

Para pelaku pasar akan menyimak beberapa sentimen utama yang akan menggerakkan pasar pekan ini.

Pertama, investor masih cenderung mencermati data-data penting dari ekonomi AS terutama data tenaga kerja yang baru rilis.

Sikap investor cenderung wait and see setelah sebelumnya tanda-tanda perekonomian AS merosot semakin terlihat. Institute for Supply Management (ISM) melaporkan kontraksi sektor manufaktur semakin dalam pada Maret.

Purchasing Managers' Index (PMI) dilaporkan sebesar 46,3, sudah mengalami kontraksi (di bawah 50) selama 5 bulan beruntun dan berada di level terendah sejak Mei 2020.

Namun, dengan pasar tenaga kerja yang masih kuat dan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang sulit turun membuat pasar kembali memprediksi bank sentral AS (The Fed) akan kembali menaikkan suku bunga pada Mei.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa sentimen The Fed masih menjadi momok mengerikan bagi pasar finansial Tanah Air.

Ketegangan antara suku bunga dan harga saham akan tetap terjadi pekan depan, karena investor terus mencerna indikasi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish hingga beberapa bulan ke depan.

Selain itu, ada ekonomi dua raksasa dunia yang juga merupakan partner dagang utama RI, China dan Amerika Serikat.

Dari AS di awal pekan ini, Senin (10/4/2023), akan ada rilis data ekonomi penting terkait data ekspektasi inflasi konsumen.

Pada hari berikutnya kita juga akan disuguhkan dengan pidato pejabat The Fed yang akan memberikan sinyal terkait suku bunga.

Pekan ini fokus utama pelaku pasar adalah data inflasi AS yang bakal dirilis pada Rabu (12/4/2023). Ini tentunya menjadi indikator utama bagaimana The Fed akan mengambil langkah ke depannya.

Untuk diketahui, inflasi AS naik pada Februari 2023. Indeks harga konsumen (CPI) meningkat 0,4% pada Februari, menempatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 6%. Laporan tersebut persis sejalan dengan perkiraan Dow Jones.

Tidak termasuk harga makanan dan energi, CPI inti juga naik 0,5% pada Februari dan 5,5% dalam basis 12 bulan. Laporan bulanan tersebut sedikit di atas perkiraan 0,4%, tetapi tingkat tahunan sesuai dengan prediksi.

Bagi The Fed, CPI bulanan yang mengukur harga sekeranjang barang dan jasa, telah menjadi titik data utama dalam keputusannya untuk menaikkan suku bunga selama setahun terakhir.

Sejak Maret tahun lalu, suku bunga naik dari nol menjadi 4,5% menjadi 4,75%, level tertinggi sejak 2007.

Kick off musim laporan keuangan kuartal I 2023 akan dimulai di AS, dengan nama-nama seperti Delta Airlines, dan raksasa perbankan JPMorgan Chase, Citigroup hingga Wells Fargo. Nama-nama ini akan ikut mempengaruhi suasana Wall Street pekan ini.

Sementara, dari Negeri Tirai Bambu China pekan depan kita akan disuguhkan dengan data inflasi dan indeks harga produsen (PPI). Tak kalah penting, pekan ini investor fokus mengamati rilis data neraca perdagangan terkait ekspor-impor China.

Ini akan memberikan gambaran bagaimana ekonomi China bangkit pasca tertekan akibat Covid-19 beberapa waktu belakangan.

Dari dalam negeri, tentunya ada sejumlah data ekonomi penting yang patut dinantikan pelaku pasar, di antaranya akan ada rilis data cadangan devisa (cadev) per Maret pada Senin (10/4), indeks keyakinan konsumen pada Selasa (11/4), penjualan retail Rabu (12).

Untuk data cadev, misalnya, ekonom memproyeksikan akan naik menjadi US$141 miliar, dari bulan sebelumnya US$140,3 miliar.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Data cadev RI per Maret (10.00 WIB)
  • Indeks keyakinan konsumen Jepang per Maret (12.00 WIB)
  • Tingkat pengangguran Turki per Februari (14.00 WIB)
  • IMF/World Bank Spring Meetings
  • Konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pascakunjungan kerja ke China (11:00 WIB)
  • BPH Migas menggelar konferensi pers pelaksanaan posko nasional sektor ESDM Ramadan dan Hari Raya Idulfitri 1444 H/2023 M (13:30 WIB)

Agenda emiten hari ini: 

  • Cum Seremoni pencatatan perdana saham PT Multi Makmur Lemindo Tbk. (PIPA) sebagai perusahaan tercatat ke-30 di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2023 (09:00 WIB)dividen ITMG
  • Cum dividen SDRA
  • Cum dividen WOMF
  • Listing PIPA
  • Cum date rights issue BSWD
  • RUPST BNGA

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY)

5,01%

Inflasi (Maret 2023 YoY)

4,97%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Januari 2023)

0,43% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY)

1,3% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY)

US$4,7 miliar

Cadangan Devisa (Februari 2023)

US$140,3 miliar


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

 

 


(mae/mae) Next Article Ada Kabar Buruk di Amerika, Awan Cerah Bagi Indonesia!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular