
Pernah Terjadi di RI, Apa Itu Bank Runs yang Kini Guncang AS?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor perbankan Indonesia pernah diguncang oleh aksi bank runs atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.
Bank runs bahkan hampir menumbangkan PT Bank Central Asia pada Krisis Moneter 1997/1998.
Iskandar Simorangkir dalam tulisannya Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? menjelaskan bank runs sebagai peristiwa dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena nasabah tidak percaya bahwa bank mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu.
Bank runs dan krisis perbankan sudah terjadi sejak 1830an.
Sejarah Amerika Serikat (AS) mencatat jika bank runs dan krisis perbankan sudah pernah terjadi pada 1837, 1873, 1884, 1890, 1907 dan 1933.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga mencatat terjadi 133 bank runs dan krisis yang sangat serius di sektor perbankan di 181 negara anggotanya pada periode 1980an hingga 1996.
Krisis perbankan terus berlanjut di AS dan puncaknya terjadi pada 2008/2009. Krisis perbankan yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB) adalah kasus terakhir yang terjadi di AS.
Krisis juga bermula dari bank runs di mana ada penarikan dana sebesar US$ 42 miliar atau Rp 633,15 triliun dalam kurun waktu sekitar 10 jam.
Bank runs terbesar yang dicatat AS menimpa Washington Mutual Bank pada 2008 di mana penarikan dananya menembus US$ 16,7 miliar dalam 10 hari.
Bank runs juga beberapa kali terjadi di Indonesia. Bank runs terbesar salah satunya terjadi pada 1992 yang menyebabkan tumbangya Bank Summa.
Namun, tahun 1997/1998 akan dikenang sebagai sejarah terkelam dalam peristiwa terkait bank runs di Tanah Air.
Bank runs pada tahun tersebut sampai membuat 16 bank tutup. Bank runs atau juga dikenal rush money juga sempat membuat BCA oleng.
Pada tahun 1998, BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Sementara itu, 16 bank yang ditutup adalah di antaranya adalah Astria Raya Bank, Anrico Bank Limited, Bank Andromeda, Bank Citra Hasta Dhana, Bank Dwipa Semesta, Bank Guna Internasional, Bank Harapan Sentosa, Bank Industri, Bank Jakarta, Bank Kosagrha Semesta, dan Bank Mataram Dhanarta.
Iskandar menjelaskan satu bulan sejak penutupan 16 bank (Desember 1997), jumlah dana pihak ketiga yang terdapat di bank umum swasta nasional (BUSN) menurun sebesar Rp 22,9 triliun (11,94%).
"Penarikan dana pada umumnya dimulai sejak penutupan bank dan mencapai puncak penarikan tertinggi pada Desember 1997 dan Januari 1998," tutur Iskandar, dikutip dari laporannya Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?.
Penarikan dana sempat mereda tetapi kembali melonjak saat kerusuhan sosial meledak pada Mei 1998.
Penarikan terutama terjadi pada bank umum swasta nasional (BUSN) non devisa. Bank jenis ini tidak diperkenankan melakukan kegiatan devisa.
Laporan tersebut menyebutkan per Desember 1997, dari 45 BUSN non-devisa, sebanyak 25 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga (PHK) hingga 10%.
Sebanyak 17 bank mengalami penurunan dana hingga 20%, 13 bank mengalami penurunan dana hingga 40%, 11 bank mengalami penurunan dana hingga 60%, dan 6 bank mengalami penurunan dana hingga 80% dari total dana bulan sebelumnya.
Studi menunjukkan kerugian akibat krisis perbankan yang menimpa Indonesia mencapai 35-39% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Krisis Ekonomi Asia atau Krisis Moneter pada 1997/2998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand. Krisis itu menjalar ke Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh.
Fondasi ekonomi Indonesia dinilai keropos karena sistem perbankan yang buruk serta besarnya utang dalam dollar AS.
Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13% lebih.
Berdasarkan Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi Kementerian Keuangan, sebelum 1997, perekonomian Indonesia sedang tumbuh tinggi dengan dimotori oleh investasi.
Kondisi tersebut membuat pihak swasta menambah utang untuk menggerakkan proyek akibatnya utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998.
Pengawasan yang buruk juga membuat sistem perbankan Indonesia rapuh karena banyak dikuasai sekelompok pebisnis. Pada 1988 Indonesia mengeluarkan aturan di dunia perbankan yang mengizinkan siapa saja untuk mendirikan bank asalkan memiliki modal Rp 10 miliar.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk mendirikan bank sekaligus membiayai bisnis termasuk dari luar negeri.
Krisis bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.
Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Berdasarkan Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi, nilai tukar merosot tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998.
Kondisi ini membuat banyak perusahaan dan bank oleng, terutama mereka yang memiliki utang luar negeri dalam jumlah besar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae) Next Article Warren Buffet Bantu SVB Cs, Ternyata Ada Udang di Balik Batu
