Sectoral Insight
Cek Ombak! Ini Sektor yang BIsa Terdampak Kebijakan The Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam Rapat Komite Pasar Terbuka (FOMC) pada 1 Februari 2023 atau Kamis (2/2/2023) dini hari waktu Indonesia, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, 4,5% - 4,75%.
Dengan keputusan tersebut, berarti The Fed memperlambat laju kenaikan setelah sebelumnya menaikkan 50 basis poin pada bulan Desember dan 75 basis pada empat pertemuan sebelumnya. Lantas apakah kenaikan suku bunga The Fed akan berdampak terhadap market? Lalu sektor apa saja yang menarik untuk diperhatikan?
Kenaikan suku bunga yang terlihat tidak agresif lagi ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat sudah mulai mengalami dari inflasi menjadi disinflasi ekonomi. The Fed tidak mengharapkan untuk memangkas suku bunga tahun ini. Ini sejalan dengan keinginan mengembalikan inflasi menjadi 2%.
Hal ini sudah terlihat pivot yang dilakukan oleh The Fed. Pivot atau strategi me-reverse kebijakan, dalam hal ini adalah kebijakan moneter bank sentral. Aksi pivot oleh bank sentral (FED) pastilah dilakukan karena suatu alasan, untuk memperlambat ekonomi agar tidak terlalu overheat dan meredam inflasi maupun sebaliknya, yaitu ingin menstimulasi ekonomi agar bisa berjalan dengan normal kembali dan bertumbuh.
Jika kita lihat data inflasi Amerika Serikat pada periode 2022, pada Desember 2022 itu turun 4,1 poin menjadi 6,5 dibanding November 2022 di 10,6. Penurunan ini karena indeks harga bensin (gasoline) sejauh ini menjadi kontribusi terbesar penurunan inflasi di tengah kenaikan indeks hunian. Berarti kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang agresif kemarin berhasil menurunkan tingkat inflasi di Amerika Serikat. Sekarang Fed tidak begitu agresif lagi dalam menaikkan suku bunga.
Lalu naiknya suku bunga The Fed berdampak ke sektor apa saja?
Hal ini bergantung apakah Indonesia juga akan menaikkan suku bunga atau tidak. Diketahui suku bunga terakhir Indonesia di 5,75% yang naik 25 bps dari 5,50%. Dan Bank Indonesia (BI) memberi statement akan menjaga kenaikan suku bunga atau tidak akan menaikkan suku bunga lagi. Kita ketahui bahwa data inflasi Indonesia di Januari 2023 5,28% turun 0,23% dari Desember 2022 5,51%. Di sisi lain didukung kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dimana pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% secara year on year, kalau secara kuartal tumbuh 5,40%. Tinggal tunggu hasil kuartal IV-2022.
Jika BI tidak ikut menaikkan suku bunga pastinya harga barang dan jasa di Indonesia tidak akan naik, dan ini bisa berdampak ke banyak sektor yang pastinya akan di untungkan, baik sektor transportasi logistik, consumer, bahkan komoditas.
Namun jika efek The Fed menaikkan suku bunga nantinya akan berimbas pada kenaikan dollar, hal ini akan berefek pada emiten yang memiliki hutang dengan kurs dollar. Namun diketahui ketika The Fed menaikkan suku bunga yang 50 bps pada Kamis dini hari WIB (15/12/2022), dollar justru terus melemah, dari Rp 15.589 pada 15/12/2022 hingga berada di Rp 14.889 pada 03/02/2023.
Namun jika BI ikut menaikkan suku bunga nantinya, pasti yang akan berimbas baik adalah sektor perbankan karena pasti suku bunga naik, deposito naik, bunga kredit naik.
Dimana kita ketahui penyaluran kredit perbankan justru naik di 2022, diprakirakan meningkat 8,5% di kuartal 4 2022 menurut survei BI. Sektor di luar perbankan pastinya akan berdampak negatif karena cost produksi naik, biaya jasa naik dan berimbas ke harga barang dan jasa naik. Sehingga akan ada banyak orang mengurangi konsumsinya dan akan berdampak pada pendapatan dari sektor tersebut turun.
Lalu bagaimana dengan dampaknya terhadap sektor bank digital, sektor teknologi dan juga sektor energi?
Dampak dari kenaikan suku bunga akan melekat kepada perusahaan yang memiliki hutang besar, karena efek dari kenaikan bunga kredit bank. Diketahui ketika The Fed kemarin mengumumkan kenaikan suku bunga justru emiten-emiten dari sektor teknologi dan bank perbankan naik.
Pada Kamis 02/02/2023 sektor teknologi melesat hingga 4,48%. Bukan hanya sektor teknologi, bank-bank digital juga ikut melesat.
Pada Kamis 02/02/2023 bank digital seperti ARTO melesat 12,85%, BBHI melesat 5,54%, BBYB melesat 8,05%. Namun kenaikan ini bisa jadi hanya reaksi pelaku market saja saat menerima informasi kenaikan suku bunga yang lebih rendah. Untuk prospek jangka panjang tetap melihat dari sisi kinerja emitennya.
Dari sisi sektor bank digital. Diketahui beberapa kinerja bank digital seperti ARTO, BBHI, AGRO sudah berhasil mencetak laba hingga kuartal III 2022. Kemudian pertumbuhan kredit meningkat di 2022, diprediksi juga untuk tahun 2023 akan tumbuh sekitar 10-12%.
Lalu bank digital juga didukung efisiensi biaya yang berlanjut dan pendapatan bunga bersih yang besar guna mendorong keuntungan ke depan. Jika suku bunga naik hal ini juga akan berdampak baik untuk sektor perbankan baik konvensional maupun digital, karena pendapatan mereka sama-sama berasal dari nasabah baik pendapatan bunga atau non bunga. Pendapatan bunga atau NIM (Net Interest Margin) yang berasal dari bunga kredit. Pendapatan non bunga atau fee-based income dan trading income seperti transaksi valuta asing, admin dan pendapatan operasional lainnya.
Dari sisi sektor teknologi. Kenaikan suku bunga pasti akan mempengaruhi cost of fund dari sektor teknologi. Sektor teknologi yang umumnya dari sisi penjualan meningkat tetapi belum memiliki laba (profit). Ini karena emiten masih berada pada periode "bakar duit" dan promosi. Semakin mahal pendanaan, maka semakin tipis juga uang yang bisa dibakar, dan efisiensi akhirnya akan dilakukan.
Dari sisi sektor energi. Diketahui sektor energi masih melandai alias mengalami penurunan dalam beberapa akhir pekan. Kita ketahui pada akhir perdagangan 03/02/2023 coal sudah berada di US$ 236, Brent Oil sudah berada di US$ 79,82, Crude oil berada di US$ 73,23, apalagi Gas yang turun terus hingga menembus di angka US$ 2,38.
Harga energi naik sebelumnya adalah salah satu penyebab inflasi, dan sekarang sudah mulai menurun inflasinya, lalu permintaan juga menurun, sektor energi mulai di reset dulu harganya.
Dimana kita ketahui China sudah reopen, yang bisa mendorong pertumbuhan global. Hal ini akan berpengaruh pada permintaan di sektor energi seperti batu bara, minyak mentah dan gas. Ketika permintaan China sudah mulai normal dan tinggi maka hal ini akan mendorong kenaikan sektor energi kembali. World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi di China pada 2023 akan berada pada kisaran 4,3% pada 2023.
Lalu jika The Fed melunak, apakah investor di market Indonesia akan berpindah ke Market AS, karena dinilai lebih menarik?
Jika efek dari naiknya suku bunga The Fed akan membuat dollar naik tinggi lagi, pasti akan membuat investor untuk memilih berinvestasi di dollar ketimbang rupiah, itu akan menarik dana asing keluar dari Indonesia.
Namun tunggu dulu, ketika The Fed menaikkan suku bunga di bulan Desember 202 justru dollar makin turun. Selain itu lihat dulu perbandingan antara angka inflasi Amerika Serikat dengan angka suku bunganya.
Berdasarkan data inflasi hingga Desember 2022, Amerika Serikat berada di 6,5%, sedangkan suku bunga Amerika Serikat di 4,75% berarti ada selisih 1,75%. Dimana jika investor meletakan uangnya di Amerika Serikat, uangnya akan tergerus 1,75%, karena angka inflasinya masih lebih tinggi dibandingka suku bunganya.
Sedangkan kita tahu di Indonesia, data inflasi per Januari 2023 berada di 5,28%, sedangkan suku bunga berada di 5,75% dimana terdapat selisih 0,47. Investor jauh akan lebih untung meletakkan uangnya di Indonesia, karena angka inflasinya lebih rendah dibanding angka suku bunganya.
Ekonomi Indonesia terbukti kuat, bahkan di 2023 pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan sebesar 4,9% - 5,2%, sedangkan angka inflasi 3,25% - 3,75%. Hal ini tentu lebih menyenangkan berinvestasi di Indonesia yang terbukti ekonominya makin bertumbuh pada periode 2022.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/pap)
[Gambas:Video CNBC]