Market Commentary

Baru Setengah Hari, 8 Saham Ini Sudah Sentuh ARB

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
05 January 2023 12:21
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk nyaris 2% pada perdagangan sesi I Kamis (5/1/2023), di tengah kekhawatiran akan ramalan dari Dana Moneter Internasional terhadap ekonomi global di tahun 2023.

Hingga pukul 11:30 WIB, IHSG ambruk 1,73% ke posisi 6.695,709. IHSG pun keluar dari zona psikologis 6.700 dan kini diperdagangkan kembali di level psikologis 6.600.

Padahal beberapa hari lalu, IHSG masih diperdagangkan di level psikologis 6.800.

Di tengah ambruknya IHSG, terpantau ada setidaknya 8 saham yang ambruk lebih dari 6% dan sudah menyentuh level auto reject bawah (ARB).

Berikut saham-saham yang terkena ARB pada perdagangan sesi I hari ini:

EmitenKode SahamHarga TerakhirPerubahan Harga
Energy Mega PersadaENRG266-6,99%
Wulandari Bangun LaksanaBSBK148-6,92%
Elang Mahkota TeknologiEMTK945-6,90%
Bank JagoARTO3.270-6,84%
Radiant Utama InterinscoRUIS308-6,67%
Medco Energi InternasionalMEDC1.005-6,51%
Personel Alih DayaPADA262-6,43%
Morenzo Abadi PerkasaENZO76-6,17%

Sumber: RTI

Saham emiten minyak dan gas (migas) Grup Bakrie yakni PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) menjadi yang paling parah koreksinya pada perdagangan sesi I hari ini, yakni ambruk 6,99% ke posisi Rp 266/saham.

Selain saham ENRG, terdapat saham emiten migas lainnya seperti saham PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS) yang ambles 6,67% ke Rp 308/saham dan saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang ambrol 6,51% menjadi Rp 1.005/saham.

Selain itu, terdapat juga saham PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang anjlok 6,9% ke Rp 945/saham dan saham bank digital yakni berkapitalisasi pasar besar yakni PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang tergelincir 6,84% menjadi Rp 3.270/saham.

Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) membuat gempar banyak orang di global dan dalam negeri, setelah mereka merilis proyeksi ekonomi global di tahun 2023.

Meski ngeri, ramalan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tiga mesin utama ekonomi dunia yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa bakal melambat.

"Kami memperkirakan sepertiga ekonomi dunia berada dalam resesi. Bahkan negara yang tidak dalam resesi, akan terasa seperti resesi bagi ratusan juta orang," ujar Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan CBS Face the Nation, dikutip Rabu (4/1/2023).

Di China, menurut Georgieva, laju ekonomi China pada 2022 kemungkinan di bawah pertumbuhan ekonomi global untuk pertama kalinya dalam 40 tahun karena lonjakan kasus Covid-19.

"Untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China pada 2022 kemungkinan berada di bawah atau di bawah pertumbuhan global," kata Georgieva.

Peningkatan kasus Covid-19 setidaknya setahun terakhir membuat Negeri Tirai Bambu tersebut menerapkan sejumlah pembatasan yang membuat aktivitas ekonomi kembali terhambat.

Bahkan, lonjakan baru kasus Covid-19 yang diperkirakan terjadi di China dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan akan makin memukul ekonominya tahun ini dan menyeret pertumbuhan regional dan global.

"Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan China akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," ujar Georgieva.

Dalam perkiraan pada Oktober 2022, IMF mematok pertumbuhan produk Domestik Bruto (PDB) China tahun lalu sebesar 3,2%, atau setara dengan prospek global IMF untuk 2022.

Sementara itu, kata Georgieva, ekonomi AS berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan akan menimpa sepertiga dari ekonomi dunia.

"AS paling tangguh, dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja tetap cukup kuat," katanya.

Namun, fakta itu sendiri menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam membawa inflasi AS kembali ke level yang ditargetkan sebesar 2%.

"Ini adalah ... berkah campuran karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi," kata Georgieva.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Sanggahan: Berita ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli atau menjual saham terkait. Keputusan investasi sepenuhnya ada pada diri anda, dan CNBC Indonesia tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation